Sunday, January 15, 2012

Galau, friend shock (lagi)

Waktu itu kamis malam, saya menghabiskan malam saya di tempat favorit saya, Dunkin Donuts di Jakal. Lagi asyiknya streaming Desperate Housewives episode terbaru, seorang teman menyapa.
“loh Nadia? Ngapain?”
“eh halo, aku lagi iseng aja”
“oooo….. Kok sendirian aja?”
“….. Iya, enggak apa-apa.”

Dan dia pun berjalan sama pacarnya ke meja lain, setelah dengan nada memelas bertanya tentang kesendirian saya. Sudah persepsi normal di sini, kalau ada yang sendiri berarti ada yang salah. Saya pun baru sadar setelah basa-basi ringan itu, kenapa saya sendirian? Sejak kapan saya jadi menghabiskan waktu sendirian?

Saya jadi terbiasa apa-apa sendirian sejak saya exchange. Setelah beberapa minggu tinggal di asrama, saya melihat beberapa teman saya makan sendirian di kantin, ke perpus sendirian, bahkan ke mall sendirian. Dasar cewek ndesit, saya sering tanya ke mereka “kok sendirian?” dan mereka menjawab dengan bingung “ya memang sendirian”. Sejak itu pun saya pede aja kemana-mana sendirian, mulai dari volunteer sampai ke Orchard.

Padahal dulu saya paling takut kemana-mana sendirian. Mau ke kampus aja harus janjian dulu sama teman, apalagi ke mall. Makannya buat saya teman itu penting, jauh lebih penting daripada pacar. Waktu jaman remaja dulu, saya melihat para cewek pacaran, putus, pacaran lagi, putus lagi. Dan setiap mereka putus dengan cowok yang berbeda, mereka selalu dihibur oleh orang yang sama, sahabat mereka. Saya yang masih blo'on itu, dengan mengukur tingkat kelanggengan antara pacar dan sahabat, jelas merasa sahabat lebih tulus dan lebih setia. Saya sendiri cukup beruntung punya Popo, cowok pertama dan satu-satunya yang menyandang predikat sebagai pacar saya. Tapi bahkan itu pun tidak mengubah pendapat saya bahwa sahabat jauh lebih penting dari pacar. Atau justru karena merasa aman sama Popo, saya jadi berpendapat gitu yah?

Ironisnya, predikat teman yang saya anggap paling penting justru flexibel karena bisa ‘digantikan’. Waktu saya exchange, saya enggak mungkin cari pengganti pacar atau keluarga kan? Yang mungkin ya mencari pengganti teman. Di luar dugaan ternyata berteman dengan orang beda negara itu enggak gampang. Ketika itu, saya yang mulai frustasi jadi berpikir praktis dan mulai meluluhkan impian muluk yang saya bayangkan sebelum berangkat.

Saya mulai berpikir bahwa saya hanya akan ada di sana selama 6 bulan, jadi saya tidak berusaha mencari sahabat. Ada 'jarak’ yang memang saya buat antara saya dan teman-teman disana, terutama teman-teman asrama karena dengan mereka lah saya menghabiskan waktu paling banyak. Sebisa mungkin saya tidak mau buat masalah. Jadi kalau saya mulai merasa mereka nyebelin, saya enggak makan bersama, saya enggak turun ke lounge, dan menghabiskan waktu di kamar, browsing dan streaming. Sampai nanti mood saya baik lagi. Mungkin saat itu sendirian mulai terasa menyenangkan buat saya. Waktu itu saya dengan jahatnya berpikir bahwa mereka 'hanya’ teman selama disini dan saya punya real friends di Jogja sana. Kemungkinan untuk bertemu lagi juga kecil karena negara kami yang mencar-mencar, jadi buat apa 'work hard’. Bahwa akhirnya kami malah jadi nangis-nangis pas perpisahan, itu diluar dugaan.

Singkat kata, waktu itu pegangan saya ada para sahabat saya di Jogja. Beberapa gelintir orang yang bukan cuma bisa saya ajak ketawa bareng, tapi juga nangis bareng, dan ngobrol ngalur ngidul dari yang paling enggak penting sampai yang penting. Teman yang saya enggak perlu takut kalau berantem bahkan sampai bikin 'jarak’.

Satu semester itu bukan waktu yang lama, paling tidak menurut saya. Bukan waktu yang cukup untuk membuat kenalan menjadi sahabat, bukan juga waktu yang cukup untuk mengubah persahabatan yang terjalin beberapa tahun ini. Eh ternyata salah loh. Pas saya pulang, salah satu sahabat saya jadi 'ganti aliran’ #halah setelah 6 semester bareng. Sementara 2 sahabat saya yang lain yang dulunya kembar siam, sudah enggak saling mengabari lagi. Lulus sepertinya jadi Dokter yang berhasil memisahkan mereka. Yang sedang berjuang di luar kota juga jarang banget ketemu satu sama lain. Ada juga yang ingin ngopi tapi justru sms ke orang lain, dan si orang lain justru sms mengajak teman saya. Teman saya pun hanya bisa bengong tahu bahwa sahabat kami enggak mengabari dia soal ngopi. Tidak ketinggalan sahabat lama saya menyapa saya via net hanya untuk memberi saya 'pukulan telak’ yang untungnya meleset.

Saya sendiri cuma bisa jadi penonton melihat semua perubahan yang terjadi selama saya enggak ada. Dan ketika saya melihat ke belakang, tiba-tiba saya jadi melihat hal yang sama. Kekecewaan saya ketika salah seorang sahabat saya tidak datang di acara dinner kecil sehari sebelum saya berangkat, juga ketika dia tiba-tiba pindah ke tempat kerja baru di luar kota. Fakta bahwa saya tidak pernah sekali pun skype dengan orang yang saya beri gelar sahabat. Saya hanya bisa miris ketika 'teman-teman sementara’ saya bercerita tentang skype night mereka dimana mereka menghabiskan satu malam di kamar dan skype dengan sahabat masing-masing. Sementara  teman-teman saya di sana bahkan tidak punya akun skype yang aktif dengan berbagai alasan, mulai dari Koneksi lemot sampai tidak ada orang untuk di telpon via skype.

Yang menghubungi saya via skype justru orang yang saya tidak sangka, orang yang saya anggap 'cuma’ teman. Ada juga yang bilang kangen via twitter dan mengirim foto rumah saya via bbm. Hal-hal kecil yang membuat saya terharu. Kejadian yang paling saya ingat saat ulang tahun saya adalah ketukan pintu di tengah malam oleh teman-teman asrama saya, orang-orang yang saya anggap hanya sementara, orang-orang yang kemungkinannya paling kecil untuk memberikan saya surprise, I mean we just met 2 months before my birthday. Ini terdengar jahat, tapi jujur saya justru lupa apa para sahabat saya itu mengucapkan atau tidak. Mungkin tenggelam di timeline facebook, atau masuk folder sms yang gagal terkirim, dan jelasnya tidak ada email atau video call karena mereka bukan tipe doyan online.

Tiba-tiba semua jadi upside down. Saya jadi bingung, mana yang sahabat, teman, kenalan, mana yang sementara, mana yang real, dan mana yang fake. Yang saya tahu, saya sendirian dengan hot chocolatte saya……..di Jogja, di tempat asal saya, di 'rumah’ saya. Tempat yang membuat saya kuat sendirian di negeri orang sana.

Saya enggak kecewa sama sahabat-sahabat saya, sungguh enggak. Saya masih ingat betapa senangnya saya waktu mereka datang sore hari memberi surprise ulang tahun saya, juga ketika mereka membawakan saya karangan bunga yang besar waktu saya wisuda, plus kesabaran mereka menghadapi saya yang super rese’. Saya  sadar saya tenggelam dalam konsep indah persahabatan yang saya bangun sendiri, saya jatuh cinta dan menutup mata pada kekecewaan yang saya alami. Dan sekarang saya patah hati. Di saat yang sama Popo justru tetap berdiri di tempat yang sama seperti 8 tahun yang lalu. Saya pun jadi bertanya-tanya, apa memang pacar punya strata yang lebih tinggi dari teman?

Saya masih bingung. Soal teman, sahabat, pacar. Memang saya sudah melihat bahwa konsep persahabatan seperti di Sex and The City, How I Met Your Mother, bahkan Gossip Girl ternyata sama dengan konsep cinta di setiap film romantis, ilusi. Ahahaha…. Saya enggak akan jadi Carrie yang selalu ditemani Miranda, Samantha, dan Charlotte. Atau jadi Robin yang di hibur habis-habisan sama Ted di malam natal setelah tahu dirinya mandul. Atau jadi Serena yang punya temen super licik kayak Blaire tapi tulus banget dalam menjalani persahabatan mereka. Kayaknya saya butuh waktu buat merekonstruksi semua hal soal persahabatan ini. Saya juga bersyukur saya enggak pernah berantem serius sama mereka, apalagi gara-gara rebutan cowok *amit-amit*.

Ini hari Minggu, lagi-lagi saya menghabiskan malam saya ngopi, Kali ini di Starbucks karena wifi nya lebih cepat. Sambil streaming episode terbaru How I Met Your Mother, saya menikmati ice chocolatte raspberry,
Sendirian.

No comments:

Post a Comment

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...