Monday, March 27, 2017

Setahun Setelah Jadi Working Mom, Masih Galau

Enggak kerasa udah hampir setahun saya balik lagi ke dunia kerja. Tapi yang namanya rasa bersalah tetep ada. Sampai detik ini, saya masih mempertanyakan apa bener ya keputusan saya balik kerja lagi?

Baru-baru ini Yang Uti datang ke Jakarta buat nengokin Zedd and Hanhan. Trus beliau nyeletuk kalau saya sebaiknya resign, sooner or later, apalagi kalau mau ngasi adek buat Zedd. "Tetep beda lah anak yang diasuh daycare sama diasuh ibunya sendiri," kata Uti.

My parents speak anything without filter, and I don't mind that. Saya enggak sakit hati, tapi jadi mikir sih. Hal ini bertambah parah ketika saya datang ke sebuah event yang 1 pembicaranya adalah entrepreneur mayan sukses. Enggak tahu gimana obrolan itu talkshow, yang saya denger adalah "Dulu saya selalu iri waktu lihat temen-temen saya dijemput orang tuanya. Sementara saya enggak, karena ibu saya kerja."

Waduh, lha 'produk working mom' aja bilang dia iri sama 'produk stay-at-home-mom.' Deg-degan dong saya. Apa nanti Zedd bakal mikir gitu pas udah gede? Jujur saya enggak ngerti, karena saya dan Popo sama-sama produk stay-at-home-mom. Pas kami pulang ke rumah, selalu ada sosok ibu plus makanan rumahan yang lezat buat makan siang. 

Kebetulan banget, kontrak saya akan habis beberapa bulan lagi. Jadi saya tambah galau nih. Should I continue working or stop (again). Deep down, saya dan Popo sebenernya udah pengen ngasi adek buat Zedd. Tapi enggak kebayang ninggalin baby 3 bulan di daycare, secara Zedd aja saya urusin sendiri sampai dia 10 bulan. Bisa bebas ASI eksklusif tanpa mikir mompa. Bisa leluasa masak MPASI homemade. Ah the joy of being SAHM. 

Kalau udah gini, saya diskusi sama Popo. Alhamdulilah banget Allah SWT menjodohkan saya sama suami yang bijaksana. I know I can always count on him when I'm in doubt. Menurut Popo sih, I'm happier when I'm working so he actually supports me to work. Terus kami bedah situasi saya sekarang.

Bener-bener Allah maha baik. Kerjaan saya sekarang lumayan enak buat working mom. Waktu kerja saya cukup fleksibel. Saya bisa berangkat jam 8 ke atas, jadi Zedd bisa saya mandiin, suapin, anter ke day care dengan tenang. Lokasi kantor yang ada pinggiran juga membantu banget. Jadi saya enggak kena macet kalau pulang-pergi karena ngelawan arus orang-orang kerja. Saya berangkat setelah Popo dan pulang sebelum Popo.

Bos dan rekan kerja saya 99 persen cewek. Jadi kalau Zedd sakit, saya enggak kesulitan buat ijin mendadak. Waktu mompa pun, saya bebas mompa di ruangan sambil kerja. Selain itu, kantor sangat amat ramah kalau ada yang bawa anak. Ini aja temen-temen udah nanya kapan bawa Zedd lagi ke kantor.

Saya sadar banyak banget kemudahan yang saya dapat di pekerjaan yang sekarang. Dan menurut Popo, itu yang harus ditingkatkan. He said that if I still wanted to be a working mom and be present for my family, I should be even more selective about the job. 

Let's say 5 tahun lagi saya mau anter jemput Zedd ke sekolah, ya saya harus cari kerjaan yang dikerjain dari rumah, freelance atau kantor yang enggak mengharuskan pegawainya datang ke kantor. Saya kenal beberapa temen seprofesi yang enggak perlu ke kantor kecuali meeting (1x sebulan) atau cuma harus ke kantor minimal 8 kali dalam sebulan. Again, Alhamdulilah saya nyemplung ke industri yang tepat. Keleluasaan kayak gini enggak ada di semua jenis pekerjaan, kayak perbankan misalnya. Kantornya Popo juga termasuk yang ketat.

Sipa sebenernya cukup fleksibel walaupun dia kerja di bagian finance. Mungkin karena kantor Sipa itu multi national companies alias PMA, jadi lebih liberal untuk kerja dari rumah. 

So, Popo suggested that I still do what I love, tapi emang harus cari kerjaan yang support working mom. Saya harus cari perusahaan yang adopt work from home policy (many are foreign companies, sadly) atau fleksibel di jam dan waktu kerja. They are exist kok, I just have to look for them very closely and detail.

As per now, saya cukup happy di kantor saya. Semoga Allah ngasi keajaiban yang membukakan mata para pemilik perusahaan, kalau kerja itu sekarang bisa dari rumah kok. Hahahaha... enggak mungkin kali ya?

Mahalnya Hidup Normal di Jakarta


Emang bener kata orang, ibukota lebih kejam daripada ibu tiri. Not that I ever have a step mom sih. Tapi liat Ashanti kayaknya ibu tiri baik yah?

Back to ibukota, sejak mau lulus skripsi, saya dan Popo sepakat mau kerja di Jakarta. Alasannya banyak, more opportunity, more money, more challenges, more adventurous.

And we did. Kami berdua dapat kerja di Jakarta sampai sekarang.

Dari awal kerja, kami udah mulai denger pola hidup orang Jakarta. Kebanyakan harus menempuh perjalanan berjam-jam buat pulang pergi kantor-rumah. Enggak main-main, berangkat bisa jam 5-6 pagi dan nyampe rumah jam 8-9 malem.

Contoh gampang, ibu asuh Zedd di daycare. Dia berangkat dari rumahnya jam 5.30 pagi dan nyampe rumah jam 9 malem. Dia enggak sempat masak dan nyuci baju diselesaikan pas hari libur. Can you imagine how she handles the housework.

Buat kami hal tersebut enggak normal. Lha kapan ketemu keluarga kalau kayak gitu? Belum lagi ngurusin rumah. Kan dikit banget waktunya. Apalagi papa-papa kami berangkat kerja jam 7 pagi dan pulang jam 3-5 sore. Then again, kami tinggal di daerah, bukan di ibukota.

Awal kerja, kami masih pacaran dan enggak perlu mikir soal itu. Saya kos di Jakarta Pusat, Popo di Jakarta Barat. Agak jauh tapi masih santai.

Pas udah nikah, kami 'dipaksa' mikir mau tinggal dimana. Kami sepakat kalau kami masih pengen hidup 'normal' versi kami. Gampangnya kami pengen hidup di Jakarta denga rasa Jogja. Kami belum mau liat-liat ke BoDeTaBek. Masih pengen di Jakarta aja.

Hasilnya, ya kami hanya mampu nyewa apartemen mungil. Dengan segala kesederhanaannya, kami masih bisa hidup normal... sampai sekarang. Popo berangkat jam 7 pagi, saya berangkat jam 8 pagi (kadang jam 9). Jam 7 malem saya udah di rumah, Popo agak lebih lama karena macet. Emang sih enggak bisa bener-bener kayak di Jogja yang bisa di rumah sebelum Magrib. Tapi, buat versi Jakarta, ini udah mending banget.

Yang enggak kami perhitungkan adalah, hidup di dalam Jakarta itu MAHAL. Dan hidup di tempat SEMPIT itu juga MAHAL. Siapa yang sangka coba? Saya kira tinggal di tempat sempit means less stuff. Wrong! Ini beberapa hal yang lebih mahal di Jakarta, sepanjang saya tinggal di sini.

1. Biaya makan lebih mahal.
Kerja dan ada toddler bukan kombinasi yang baik buat masak. Jadi kadang harus jajan kan. Saya selalu sempetin masak nasi, tapi lauknya kadang enggak sempat. Nah, di Jakarta atau at least sekitaran apartemen saya, harga makanannya mahal. Standar makan di mall itu 50-70 ribu per orang. Kalau mau agak murah, di warung-warung bawah apartemen yang harganya 30-50 ribu. Mau murah lagi, saya harus jalan 200-300 meter buat jalan ke samping apartemen yang banyak pedagang kaki lima dengan harga makanan 20-30 ribu.

Jalan 300 meter itu mayan loh. Apalagi kalau abis kehujanan dan kejebak macet. Badan lemes banget. Belum lagi kalau Zedd udah keburu tepar.


2. Biaya daycare lebih mahal
Kami memilih buat nitipin Zedd ke daycare dalam apartemen biar dia enggak usah digotong naik motor pagi-pagi. Enggak tega. Risikonya ya harga mahal. Ada daycare yang lebih murah, tapi Zedd harus ikut saya naik ojek. Lha kalau hujan gimana? Naik taksi bukan opsi karena dia juga akan rewel di dalem taksi yang kejebak macet pas ujan.

Temen saya di Depok juga bayar daycare sampai separuh yang saya bayar. Tapi di Depok.


3. Ongkos ojek saya yang besar
Alhamdulilah saya dapat kantor yang jam kerja agak fleksibel dan lokasinya enggak di tengah kota. Jadi saya bisa berangkat agak siang dan enggak macet.

Masalahnya, saya harus naik ojek dan itu quite expensive. Kalau saya naik kereta sambung bis, akan lebih murah. Kalau ojek saya bisa menghabiskan 30 ribu lebih buat PP. Sementara itu, kalau naik kereta sambung bis, enggak akan nyampe 20 ribu buat PP. Tapi, saya jadi harus berangkat lebih pagi, karena nunggu kereta dan bis kan enggak bisa diprediksi.

Misal: saya berangkat jam 8 pagi pakai ojek dan sampai kantor jam 8.45. Kalau pakai kereta, saya harus berangkat jam 7 or even earlier.

Sure it's okay when it's just me and Popo. Tapi ini kan ada Zedd. Saya juga pengen mandiin, nyuapin, dan main sama Zedd sebelum kerja. Apalagi Zedd itu bangunnya jam 8an. Berangkat jam 7, berarti bangunin ini balita pas lagi pules. Enggak tegaaaa...

Dokumentasi pribadi


4. Maintenance dan parkir
Ini enggak dirasain temen saya yang ngontrak di Depok atau Kalimalang. Enggak ada maintenance yang nominalnya mencapai 5 juta per tahun, atau biaya parkir per bulan. Saya enggak tahu gimana kalau yang lain sih, tapi yang saya rasain, di Jakarta ini dimana-mana bayar parkir.

Enggak cuma di apartemen, Popo juga bayar parkir motornya di kantor. Yup, parkir motor di kantor Popo itu sistem langganan juga. Nanti pas weekend jalan-jalan ke mall atau tempat rekreasi, bayar parkir juga.

Beda sama di Jogja, yang paling enggak, di kantor dan di rumah enggak usah bayar parkir. Di Jakarta, parking fee is almost everywhere.



5. Perlengkapan rumah yang spesifik
- Saya enggak bisa punya bed cover 2 karena enggak ada tempat untuk nyimpennya. Alhasil saya harus beli quilt yang relatif mahal.

- Saya enggak bisa pakai rak botol yang murah, karena tempatnya kesempitan. Rak botol yang muat adalah Boon drying rack yang harganya Masya Allah mahal. Dan saya masih berusaha menjual rak pengering botol Munchkin yang enggak muat di dapur saya.

--

Baru-baru ini kami pakai jasa financial planner dan kami dipaksa ngeliat kenyataan bahwa biaya operasional kami cukup tinggi. Tapi kalau disuruh ngurangin, kami enggak bisa. Semua demi gaya hidup 'normal' yang kami pengenin.

Saya enggak bisa ngurangin biaya transportasi dan kami enggak tega mindah Zedd ke daycare yang lebih affordable. Sekarang saya cuma usaha lebih sering masak walaupun sesederhana telur dadar.

Sekarang kami masih bisa sarapan dan makan malem bareng. Zedd juga masih bangun pas Popo pulang kantor. Kami enggak harus berangkat subuh-subuh dan pulang mendekati tengah malem.

Saya enggak naif sih. Deep down saya enggak yakin bisa hidup gini terus. One day, we have to live in a bigger place. A proper house. And I'm not sure we can afford a house in our current neighborhood.

But for now, this kind of normal is more than I can ask. Alhamdulilah.

Sunday, March 5, 2017

Ribetnya Bikin Kitchen Set Impian

Sejujurnya saya bukan orang yang hobi banget masak. Tapi entah kapan saya jadi mimpiin punya dapur kecil nan indah. Hhhmmm.... kayaknya sejak pergi ke Ikea deh. Hahahaha... 

Aniwei, setelah kami punya apartemen, rasanya gemes pengen dekor sana sini. Tujuannya ya biar apartemen mungil ini lebih livable.

Tujuan lain itu Zedd!

Sekarang dia udah toddler yang ngglitis. Apa-apa dipegang. Apa-apa dipanjat. Apa-apa dilempar. Dia udah pernah ngangkat ceret yang ada airnya, dibawa ke depan tv, trus ditumpahin. Dia juga pernah ngangkat panci presto terus dibanting. 

Kami punya meja bar tempat naruh macem-macem (gantinya kitchen cabinet), yang selalu jadi incaran Zedd. Akibatnya? Living room+kitchen kami jadi enggak pernah bersih.


Ini penampakan meja bar yang khusus saya beresin for the sake of this blog. Aslinya mah selalu berantakan karena Zedd.

Penampakan dari sisi satunya. Aniwei, we plan to sell this meja bar karena selalu dipake main Zedd dan kegedean. If anyone interested... hehehe...


Not only that, dia juga mulai deket-deket kompor!! Waduh!! Udah cukup banyak kejadian yang bikin kami ngerasa: WE NEED KITCHEN SET! 

Penampakan dapur mini kami. Itu mulai dari gas, ceret, panci, sampai ember mandi pernah ditarik sama Zedd trus ditinggal gitu aja di sembarang tempat.


Kalau dulu kitchen set itu barang mewah buat kami, sekarang udah jadi kebutuhan primer, thanks to Zedd. Hahahahaha...

Kamu pun bener-bener mikirin soal kitchen set, like any other part of our teeny tiny apartment. Karena salah desain bakal ngerusak the whole place, saking kecilnya.

Kami juga enggak mau yang asal jadi. Iya sih butuhnya cepet. Iya sih budget kami mepet. Tapi memutuskan beli sesuatu yang asal-asalan dan asal murah, biasanya buntutnya enggak enak. Bisa rusak trus kami harus beli baru lagi. It happened a couple of times with us. Akhirnya malah boros. Jadi kitchen set ini bener-bener dipikirin.

Saya cari dulu maunya kayak apa. Ini sempet gelut sama Popo, karena dia mau agak gede, saya maunya kecil. Ini masalah kami dari dulu. Semua hal yang masuk apartemen kami harus kecil, lebih kecil dari standar furniture seharusnya. Popo pasti pengen yang standar cause he believes standardization is created for a reason. 

Saya pengennya kecil karena saya sering liat unit-unit lain (pas Eyang datang nginep) yang template dan saya enggak mau end up kayak gitu. Jadi emang ukuran yang saya mau itu dibawah standar.

Ini dapur impian saya, dari Pinterest. Finishing duco, white marble for table top, dan subway tile buat backsplash. 
Foto dari Pinterest.


Next question, mau bikin kemana?

  • Vendor Kitchen Set di Bawah Apartemen
Ada vendor interior desain di bawah alias di ruko-ruko apartemen, yang bisa bikin kitchen set. Tapi saya enggak sreg, karena kesannya template. Harga memang murah, sekitar Rp 10-12 jutaan buat kitchen set kecil di apartemen. But I have to pass. Karena jadinya sempit, lha mereka kesannya asal jadi. No desain whatsoever.

  • The Ikea Dream
Ikea sempat jadi pilihan. Apalagi toko asal Swedia ini baru ngubah policy delivery and pemasangannya jadi lebih murah. Kebetulan Sipa pasang dapur ikea tapi pas yang mahal. Eh, enggak lama habis itu, berubah jadi lebih murah biaya pemasangannya. 

Even so, I also have to pass on this one for several reasons

1. Kegedean bok! Yup, even ikea yang bikin furniture khusus small spaces pun enggak punya ukuran yang saya mau. Hahahahahaha... *ketawa sambil nangis di pojokan*

Ukuran kabinet dasar ikea itu lebar 60 cm. Lebar dapur apartemen saya cuma 50 cm. Jadi enggak cukup. Menurut mas ikea, bisa aja kabinet atas ikea yang lebar 40 cm, dipakai buat kabinet bawah, but he mentioned that it's still somewhat weird karena ya emang bukan buat kabinet bawah kan?

2. Masalah table top. Table top ikea mahal beud kalau yang marble/granit. Mereka nyebutnya apaaa gitu. Saya lupa. Yang jelas pilihannya itu yang harganya puluhan juta atau table top yang murah banget dan enggak begitu tahan air.

3. Masalah backsplash. Backsplash itu keramik yang ada di antara kabinet atas dan bawah. Kenapa jadi masalah? Karena ya ikea enggak nyediain, setahu saya yah. CMIIW. Adek saya pun akhirnya masang dapur ikea dulu, trus cari keramik, trus pakai jasa tukang keramik. 

Intinya ikea, walaupun kabinetnya terhitung murah, bisa bawa sendiri, kualitas oke, garansi 20 tahun lebih, tapi ada 'rempongnya.' Ini saya lihat dari Sipa yang pasang dapur ikea. 

Meanwhile, kalau pakai jasa kitchen set, udah semua tuh. Backsplash, lampu, table top granit, dll, udah sekali jadi dengan ngontak 1 orang. 

  • Jasa Kitchen Set
Akhirnya kami mulai lihat-lihat jasa kitchen set yang kayaknya oke. Soalnya kitchen set kan buat dipakai tahunan, kalau bikin murah trus malah cepet rusak, jadi kerja 2x kan.

Setelah tanya-tanya dan browsing-browsing. Ini kesimpulan yang kami dapat.

1. Kitchenology
Kami ngelirik ini karena dari namanya aja udah kitchen, berarti fokusnya ke kitchen dong. 

Vendor ini responsif dan lokasinya deket apartemen. Tapi harganya buat finishing duco bikin kami mundur teratur, sekitar 4 jutaan per meter. Tapi harganya udah include delivery, pasang, and lampu. Jadi udah enggak keluar apa-apa lagi.

2. Jendela Putih

Reviewnya yang bertebaran di forum dan internet bikin mupeng. Kepoin IG nya pun kelihatan kalau ini profesional. Harganya sebenernya lebih murah dari kitchenology buat finishing duco (kami memang pengen yang duco, bukan HPL). 

Yang bikin kami mundur itu, prosesnya pasangnya yang mencapai seminggu. Duh, mungkin paksu ceritanya enggak jelas yah. Apa itu buat pasang kitchen set yang gede? Secara kitchen set kami kan mini banget. Tapi ngeliat begitu populernya ini vendor dan proses masang yang lama, kami terpaksa mundur, karena enggak cukup sabar nunggu beberapa bulan.

3. Ichigo Idea
Ini juga enggak kalah populer dari Jendela Putih. 

Harganya buat finishing duco sekitar 2.8 juta per meter. Ada biaya kirim tapi masih oke lah menurut saya. Reviewnya juga oke. 

Yang bikin saya mundur adalah karena adminnya kurang responsif. Don't get me wrong yah. Semua wa saya dibales, tapi cukup lama. Ada yang jeda beberapa hari dan itupun harus saya tanya lagi. Tapi ya dibales. Mungkin karena populer banget, jadi adminnya kewalahan. 

4. Calio Design
Responsif dan harga bersahabat banget. Reviewnya juga cukup banyak di internet. Instagram juga aktif. 

Sebelumnya kami pernah bikin wall panel tv juga sama Mbak Dian dan prosesnya cepet, murah, trus udah plus lampu. Masalahnya bukan ke lampunya sih. Tapi lebih ke niatan Calio buat bikin wall panel kami jadi bagus, bahkan tanpa kami minta. 

Lha secara saya and Popo enggak ngeh yah kalo panel itu bisa lebih bagus pakai lampu. Sama pihak Calio, bahasa jawanya: ditata'ke, jadi tambah bagus. Dengan sistemnya Calio yang kayak gitu, harapannya kitchen set kami juga bakal dibikin bagus.

--
Sekarang kami masing mikir-mikir mau pakai vendor yang mana. Semoga kitchen set impian saya bisa terwujud.

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...