Sunday, March 8, 2020

Jadi Ibu Minimalis

Bingung mau nulis apa saking udah lamanya enggak nulis. But I have this urge to write and, somehow, all the kids are sleeping right now. 

So I thought I share one thing that kinda makes me happy and, hopefully, be a better person. Yah, enggak one thing juga sih, tapi mirip-mirip gitu. Yaitu jadi Minimalist. 

Ini maksudnya bukan kayak rumah cluster minimalis yang jauh dari arti minimalis sebenernya ya. Bikin rumah kecil warna warni bukan berarti rumahnya minimalis, itu rumahnya mini aja. 

Minimalis ini lebih ke gaya hidup. Jujur kalo disuruh jelasin di sini soal sejarah dan penemu gitu, saya enggak capable. Bisa di gugel ajah. Saya sendiri kenal minimalism  atau minimalisme waktu kuliah arsitektur minimalisme ini. Arah minimalisme ini ke zen life yang calming dan efeknya ke bangunan, yang jadi bangunan yang minim ornamen atau perintilan, kadang termasuk warna. 

And then that’s it. Saya enggak tertarik lebih lanjut soal minimalism ini. 

Sampai beberapa tahun lalu saya nonton video Youtube nya Raditya Dika, gimana dia berubah jadi minimalis karena nonton Minimalism di Netflix. Pada saat yang bersamaan, saya tinggal di apartemen mini dan mulai overwhelmed. Waktu itu saya enggak tahu kalo saya overwhelmed sama barang-barang, saya cuma tau rasanya kepala penuh aja.

Videonya Radit bisa ditonton sendiri, tapi yang ngena banget di saya itu soal jam. Gimana awalnya dia suka koleksi jam-jam mahal, trus sejak kenal minimalism, jamnya dikurangin jadi 1 aja yang paling dia suka, plus beberapa jam yang dikasi orang-orang terdekatnya.

Enggak lama sebelum itu, saya baca Maria Kondo yang The Life Changing Method of Tidying Up. Simply karena penasaran, gimana ceritanya buku soal cara ngerapiin barang, bisa jadi New York Times Best Seller, trus diomongin di seluruh dunia. It is indeed life changing sih. Baca buku itu bikin saya ngeliat barang atau materi itu berbeda. 

Sebenernya si Konmari (Marie Kondo) ini enggak ngajarin minimalism. Dia lebih fokus ke seni rapiin barangnya. Tapi ada 1 point yang mirip sama minimalism, which is to surround yourself with things you actually love.

Daripada punya banyak baju sale yang mursida, mending punya beberapa baju yang kualitas bagus, staple, trus emang beneran cuci kering pake karena sesuka itu.

And then it hit me,
Konmari+Minimalism+Apartemen Mini=PERFECT MATCH.

Pelan-pelan saya mulai metode pertama Konmari, decluttering alias ngurangin barang. Di situ banyak berantem ama Popo, karena dia penganut Ikea, yang memanfaatkan semua sudut apartemen buat jadi storage. Sampe sekarang kami masih mencari happy medium. 

Baju-baju mulai berkurang, mainan anak-anak juga, and guess what, I feel happier and calmer. Mungkin karena pas masuk rumah, rasanya lega gitu, atau karena saya emang dikelilingi barang-barang yang sparks joy (baca Konmari and you’ll understand the “spark joy”).

Gimana soal anak-anak? Sejujurnya Zedd belum terlalu paham. Tapi ketika mainannya berkurang, dia bisa dibilang enggak ngeh sih. Pada akhirnya mungkin ngajarin minimalism ini ke anak bagus juga ya. So they learn to be happy with what they have.

Buat cara ngurangin barang, saya pake metode paling simple which is to limit the space. Saya punya lemari, ketika saya beli baju baru dan lemari penuh, ya bajunya dikurangin. Metode ini dipake ke seluruh storage. Ada mainan baru, ya mainan lama keluar. Ada piring baru, ya piring lama keluar. 


Beyond Minimalism, Living Enviromental Friendly.
Setelah mulai nyemplung ke minimalism dan spark joy-nya Konmari, saya mulai bersinggungan sama hal lain, kayak zero waste, less waste, capsule wardrobe atau project 333, dan gaya hidup cinta lingkungan lainnya. 

Zero waste= tidak menghasilkan sampah. Kalo saya tiap hari buang sampah 1-2 plastik, para zero waste enggak buang sampah. Sampahnya cuma 1 toples, itu juga bisa bertahun-tahun baru penuh

Project 333= sebuah movement dimana kita hanya punya 33 clothing items, udah include sepatu + aksesoris kayak topi anting dll.

Kalo mau disambungin mungkin gini ya:
Gaya hidup minimalism itu membuat kita mengurangi barang-barang yang kita enggak butuh, berarti less shopping, berarti ngurangin sampah yang beredar. Hal ini bikin minimalism bersinggungan sama gaya hidup ramah lingkungan. 

Makin sering terpapar sama video atau film yang kayak di atas, saya jujur makin terinspirasi. Saya sekarang mulai pakai snack bag buat beli snack dan pake tas belanja kalo beli groceries dan sayur. 

Buat baju saya masih ngumpulin koleksi staples saya. Enggak semudah kelihatannya, banyak trial and error, karena saya enggak familiar sama bahan dan potongan baju yang sesuai sama saya. But I’ll get there. Kalo cek IG @nadiasarasati mungkin kelihatan kalo baju saya itu-itu aja.

Bawa tumbler juga diusahakan, karena ngerasa bersalah kalo buang gelas/botol plastik. Tapi sejujurnya, saya mulai kerepotan karena harus bawa 3 tumbler, buat saya, Zedd, Elle. Jadi yaaaa kadang-kadang bawa 1-2 doank. 

Saya juga punya cita-cita buat composting dan bikin lubang biopori kalo one day udah tinggal di landed house. Enggak cuma ramah lingkungan, misahin sampah makanan kayak gini kan bikin rumah lebih bersih juga. Bismillah semoga tercapai ya Allah. 

Yang sulit dan enggak terlintas buat dilakukan itu soal popok dan pembalut. Saya enggak sanggup nyuci cloth diaper atau pembalut kain. Pakai menstrual cup (gelas plastik yang dimasukkin ke vagina buat nampung haid) juga serem. Huks, pake tampon aja saya sulit. Semoga ada solusi nantinya yang saya bisa coba terkait hal ini. 



Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...