Lanjut ya... part 1 waktu itu udah bahas soal Zedd yang pindah
sekolah setelah sekitar 2-3 mingguan. Well, enggak technically 2 minggu
sih. Sekitar 2 bulan (Agustus-September) Zedd terdaftar di sekolah itu. Tapi
masuknya cuma 2 minggu. Sisanya dia trauma enggak mau sekolah.
Di postingan ini saya mau bahas tanda-tanda preschool yang enggak
bagus menurut saya. Of course ini subjektif ya. Buktinya sampe sekarang
preschool ini masih ada muridnya, banyak malahan. Beberapa kejadian ini juga
mungkin terkesan sepele. But not for me, atau at least buat saya yang waktu itu
lagi hamil and full of hormones. Anywhoo, ini kejadian-kejadiannya:
1. Bullying
Tolong jangan disamain
sama kasus Audrey yang lagi hits. Ini enggak ada apa-apanya. But it was a bullying
for me.
Waktu itu saya jemput
sekitar 5 menit lebih awal trus ngintip kelas. Kaget banget waktu liat Zedd dipukul,
dijambak, and dijedukin kepalanya ke lantai. Anak umur 3 tahun! Saking shocknya
saya sampe bingung mau ngapain. Of course saya sekarang nyesel kenapa waktu itu
enggak langsung masuk ke dalam kelas buat nyelametin anak saya.
Took a couple minutes
baru guru-gurunya misahin. But it was too late, Zedd udah nangis parah. Ketika pintu
dibuka dia langsung meluk saya, trus ngomong enggak jelas. Zedd memang belum lancar
cerita karena kosa katanya masih terbatas. And at that point, enggak ada guru
yang cerita apapun ke saya.
Karena masih bingung,
saya langsung pulang terus nenangin Zedd. Telpon Popo buat crita. Trus setelah
tenang, saya hubungi guru via japri whatsapp, bukan di grup. Saya lupa
persisnya gimana karena kejadian ini udah lama, tapi saya inget intinya.
- Guru itu enggak minta maaf karena lalai jagain Zedd
- Guru itu malah minta saya memaklumi anak yang gebukin Zedd
- Dan seperti biasa, minta saya doa supaya anak itu lebih baik,
catet ya, doanya buat anak itu bukan Zedd.
Itu hari terakhir Zedd sekolah. Saya enggak tega lagi maksa dia.
Apalagi ternyata dia memang enggak diperhatikan di sana.
Sekitar 1-2 minggu setelah itu, baru ada wasap masuk dari
gurunya. Isinya sedikit berubah, tapi tetep tidak ada kata maaf. Malah penjelasan
kenapa si pelaku segitu agresifnya. Katanya dia speech delay dan pernah ditolak
1 sekolah sebelumnya.
Waduh, saya makin yakin buat enggak balik ke preschool ini. Cause
they really didn’t care about Zedd. So what if that child was troubled? Saya harus
memaklumi gitu? Trus Zedd harus menerima buat dipukulin?
Meanwhile in Zedd’s current school:
Salah satu alasan Popo enggak mau mindahin Zedd adalah pelaku
bullying akan selalu ada and children will fight every now and then. Apa dengan
dipindah, yakin di sekolah baru enggak ada yang agresif?
Saya setuju sih. Makannya saya enggak nyalahin anak itu. Bukan salahnya
kalau dia speech delay trus jadi agresif, tapi guru seharusnya lebih tanggap. Dan
itu terbukti di sekolah yang sekarang. Saya pernah lihat Zedd mau dipukul sama
temannya, tapi guru langsung gercep misahin mereka.
Alhamdulilah di sekolah baru ini, Zedd belum pernah dibully. Bahkan
dia belum pernah nangis pas saya jemput, selalu ceria.
Waktu cek kotak bekel, saya sering liat makanan+minuman+susunya
utuh. Padahal waktu sekolahnya itu 4 jam-an. Berarti Zedd enggak makan atau
minum selama 4 jam dong?
Hal kecil lain yang gengges itu, beberapa kali kotak bekel
enggak ketutup rapet, karena kebalik. Ealah... jadilah tasnya sering lengket
ketumpahan isi bekel. Seriously, sesibuk apa sih 4 guru ngurus 8-10 anak?
Sampe nutup kotak bekel aja enggak beres.
Ini mungkin hal sepele, tapi kalo hal sekecil ini aja enggak
beres, gimana hal gede? Kayak mastiin ada makanan atau minuman yang masuk ke
perut Zedd. Saya sempet curhat sama Popo soal ini, jawabannya “halah, cuma
4 jam, pastiin aja abis itu dia makan.” Lelaki yeeee…
Meanwhile in Zedd’s current school:
Enggak cuma bekelnya dimakan, gurunya juga lebih perhatian. Beberapa
hari setelah masuk, salah satu miss sempet negur saya. Katanya Zedd butuh air
putih. Saya cuma bawain susu doank.
Setelah perlakuan guru-guru di sekolah sebelumnya, saya jadi
terharu atas perhatian kecil ini. Saking enggak pernah diperhatiin.
3. Enggak Boleh Ngintip
Kami dilarang ada di kelas, bahkan sekedar ngintip. Alasannya,
itu adalah tanda kalo kami enggak ikhlas dan malah bikin anak jadi enggak
kondusif.
Okay, make sense. Tapi enggak sepenuhnya juga kan? Maksud saya,
there’s part of me who wants to see how my kid acts at school. Is he as
cheerful as he usually is? Does he have bestie? Saya rasa orang tua lain pun
gitu.
Beberapa ortu pernah minta foto kegiatan, itu juga sulit karena
para guru dilarang bawa HP. Cctv pun tak ada. Jadi ortu bener-bener enggak bisa
lihat aktivitas waktu sekolah.
Banyak yang protes, tapi ya pihak sekolah tetep kekeuh. Mereka
sempet bilang bakal ada cctv ke depannya. Tapi, itu privacy dan buat intern
sekolah. Lhaaaaaa.... begimana maksudnya? Sampe ada ortu yang bilang privacy
gimana, itu kan anak-anak kita sendiri.
Again, enggak ada jawaban.
Pernah saya ngintip trus ditegur/disindir, gurunya bilang yang
intinya saya harus ikhlas biar Zedd kondusif. Lha salah banget nih kalo ibu
pengen liat kegiatan anaknya di sekolah?
Meanwhile in Zedd’s current school:
Waktu trial + beberapa pertemuan setelahnya, saya boleh ikut di
dalam. Wah, gurunya emang pede banget nih. Mereka santai aja ada ortu ikut
kelas. And it was awesome. Enggak heran mereka pede ada orang tua, karena emang
para miss ini bisa handle anak-anak dengan baik. Bahkan anak yang super aktif
sekalipun.
Trus mereka juga santai aja kalo saya intip-intip. Pas diintip
juga nyenengin, keliatan Zedd main and ceria.
4. Pendaftaran Ribet
Ada aja masalah dari
proses awal daftar sampai udah masuk sekolah. Mulai dari masalah nomor rekening,
dimana pihak front office enggak tahu saya harus transfer duit pendaftaran ke
mana. “Biasanya pada bawa cash,” kata si FO. Waduh, duit di atas 5 juta bawa cash?
Trus soal seragam yang
dikasihnya kain. Enggak ada info itu sama sekali. Jadi saya ambil seragam h-3 sebelum
start sekolah, cuma bisa ketawa sinis aja gitu. Praktis selama sekolah di situ,
Zedd enggak pernah pakai seragam.
Ditutup sama rapat orang
tua murid yang dimulai 2 hari sebelum sekolah. Waktu itu Popo yang datang. Ternyata
isinya ortu murid pada protes soal buanyak banget hal. Ini ortu dari murid-murid
lama ya. Ini udah tanda yang cukup jelas sih. Tapi mau mundur juga telat, karena
udah bayar uang sekolah.
5. The Unhappy Child
Di sekolah pertama saya sering lihat Zedd sedih banget. Zedd di
daycare selama 2 tahun and he’s never been that sad. Intuisi saya sebagai
ibu tergerak dong. Jadilah saya ngintip terus walaupun disindir.
Yang saya lihat selama 2 mingguan itu adalah guru-guru
ngajar/joget/baca di depan anak-anak yang mau dengerin, sementara anak-anak
yang enggak kooperatif ya dibiarin aja, termasuk Zedd.
Dia menjauh dari gerombolan dan sibuk sama mainan atau buku,
sendirian. Ya Allah rasanya maknyesss gitu. Kok anak saya dicuekkin? Kok dia
enggak mau mingle?
Saya brusaha aktif tanya ke para guru, tapi dengan dalih enggak
mau maksa anak, Zedd dibiarin aja gitu. Saya curhat ke Popo and temen-temen,
katanya kasi waktu aja. But I knew something wasn’t right. Sampe kejadian Zedd
dibully trus saya jadi mikir, apa ini alesannya?
Meanwhile in Zedd’s current school:
Waktu trial pertama, saya lihat gimana 3 guru berusaha ngajak Zedd
supaya mingle. Mereka terus tanya-tanya Zedd.
For example: “temen-temen, mau denger Zedd nyanyi enggak? Zedd
mau nyanyi apa? Nyayi yuk!”
Waktu Zedd enggak mau mingle, ada guru yang bakal nemenin atau
yang secara berkala terus bujuk Zedd buat ikut aktivitas bareng.
Ternyata di tempat yang tepat, Zedd bisa cepet adaptasi kok. Cepet
banget malahan. Semua tergantung gurunya.
Kayaknya biar gimanapun anak kecil enggak bisa dibohongin ya?
Zedd mungkin kerasa guru-guru di sekolah yang sekarang emang tulus dan ramah
dan sayang anak. Hal yang (mungkin) enggak dia rasain di tempat sebelumnya.
Sekolah kedua ini lebih kecil, lebih sederhana, mainannya enggak
sebanyak Sekolah A, dan tentunya jauuuuh lebih murah. Tapi ternyata yang
penting buat anak, at least for my son, itu guru-guru dan suasana kelasnya.
No comments:
Post a Comment