Thursday, March 29, 2018

Cewek itu Harus Kerja(?)

Kalau umur udah di atas 20an, somehow kalimat di judul itu akan ada kedengeran familiar. 

Uniknya lagi, kalimat itu akan kedengeran enggak cuma sekali, pas baru lulus misalnya, tapi bakal kedengeran again and again and again, after some periods of time.

My experience for example, jujur saya lupa kapan pertama kali denger kalimat itu, cause when you heard it during school or college, you don’t really think about it. Tapi yang pertama kali saya ingat itu awal kerja, 2 tahun yang lalu.

Salah satu temen kerja saya ngomong bahwa cewek harus kerja. Temen saya di Jogja juga pernah bilang hal serupa setahunan lalu.

Terakhir, penulis yang saya follow, Ika Natassa, juga nulis hal yang sama. Well technically, she didn't write kerja kantoran, tapi punya penghasilan sendiri.

Alasan mereka mirip-mirip. Bukan karena takut pelakor ya. Tapi it’s like some kind of insurance. Gimana kalau terjadi apa-apa sama suami, sakit atau, naudzubillah, meninggal.

Waktu Ika Natassa bahas soal ini, dia dapet banyak dm yang akhirnya dia screenshot dan share di IG stories lagi, tentang kejadian kayak gitu. Kebetulan Ika sendiri ngerasain gimana ibu beliau jadi tulang punggung keluarga ketika bapaknya in between jobs. 

Lha gw kan baru resign, apakabar dong? 

Saya pribadi sih setuju-setuju enggak setuju sama pendapat itu, ya.

Alasan paling gampang, mungkin karena liat ibu sendiri. Perhatiin deh, ada kecenderungan kalau working mom itu ‘produk’ dari another working mom. In my case, my mom is a stay at home mom, jadi ngeliat Uti selalu di rumah itu normal buat saya. In addition to that, mamanya Popo juga SAHM, which could explain why he really supports me to be one.

Alhamdulilah sampai sekarang Yang Kung masih sehat walafiat, begitu juga papa mertua saya. Jadi ketakutan ‘kalau ada apa-apa, nanti gimana?’ itu enggak terjadi. 

Alasan kedua saya kurang setuju, is it worth it? Kerja buat ‘insurance?’ 

Being a working mom is so so exhausting. Saya mungkin ngeles ketika bilang bahwa zaman udah berubah. Tapi emang zaman dulu lebih gampang enggak sih? Jalanan enggak semacet sekarang. Pulang ke rumah masih bisa sebelum magrib. 

Lha sekarang, jam 7 saya paling cepet nyampe rumah. Belum ngerjain urusan rumah tangga lainnya. 

It might be easier for some working moms yang:
  • Kerjanya enggak di kota semacet Jakarta.
  • Pns atau guru/dosen di daerah yang masih bisa pulang jam 2-4. (Tapi sekarang beberapa guru juga tetep harus stand by sampe jam 5 deh.)

Tapi buat ibu bekerja yang kayak saya, mbak-mbak kantoran yang kerja jam 9-6, beneran enggak gampang lho. (My working hours was somewhat flexible, but it's still a 9-to-6 job)

Semua itu dilakukan buat sesuatu yang entah bakal kejadian atau enggak. Ninggalin anak, ngerasa bersalah tiap pagi, bingung pas anak sakit, rumah berantakan, parkir keselip lupa dibayar, (pernah lupa bayar listrik, bulan berikutnya bingung, lha kok bisa listrik 2x lipat?) dan masih banyak lagi.

Oke, mungkin ini cuma saya aja yang enggak mampu and enggak kuat physically and mentally to juggle between family and career. Banyak juga working mom yang kuat-kuat aja, and I really, really applaud them. I thought I could, but I couldn't. It's sad, I'm still sad, but life must go on.

Balik lagi ke cewek harus kerja/punya penghasilan, apa semua kesusahan itu sepadan sama alasan ‘kalau ada apa-apa sama suami nanti?’

I’m not gonna lie, I’m scared too. Baca crita di @humansofny pas di Indonesia, beberapa soal single moms yang tahu-tahu ditinggal suaminya yang lebih dulu menghadap ke Allah, it really hit me. 

But I resigned anyway. I decided to believe that everything will be okay even if I don’t work 9-6. 

Safety net nya apa? Saya pakai safety net lain. Ikut asuransi jiwa, terus berdoa supaya semua dilancarkan and diberi umur panjang oleh Allah SWT, among other things. So for me, being a working mom is not the only safety net for our family. 

Dan balik lagi ke @humansofny, para single moms itu berhasil kok. Shock di awal pas kehilangan suami, pasti. Tapi namanya wanita ya, emang dasarnya kuat. They finally rose and started working any jobs to make ends meet. 

Yang saya setuju dari pendapat Ika Natassa adalah, beliau bilang kerja bisa dari mana aja, enggak perlu kerja kantoran. 

Bisa bisnis atau kerjaan lain yang enggak perlu ngantor. It is indeed very true. Saya dan sahabat saya Anin setuju banget soal ini. 

It’s okay to work. Tapi kerja kantoran terlalu ‘ngiket’ buat ibu, menurut saya ya. Idealnya sih kerja kantoran itu, 3-4x aja seminggu. Jadi sisanya bisa buat ngurusin  anak and rumah. Hahahaha...

Karena hal itu enggak mungkin, yaudah, saya resign. And life was simpler this way. Ketika hanya 1 orang yang ‘terikat’ kantor. Contoh paling baru deh, masalah tiket mudik. Sekarang kami enggak pusing lagi. Tinggal nyari buat Popo yang harus pulang mepet-mepet dan bareng sama rombongan mudik.

Saya and Zedd bisa pulang sebelum arus mudik. Easy breezy, rite?

Another interesting thing was, jarang ada yang ngomong kalau pengen kerja demi kepuasan diri, eh bener enggak sih ini translate-nya, maksudnya sih buat self fulfillment. So we, as mothers, can proudly say "I'm not just a mom." 

Enggak ada yang salah sih sama 'being a mom,' lha saya juga sekarang SAHM kok. Yang saya maksud di sini adalah, kebanyakan kerja karena, bantuin suami atau takut suami kenapa-napa. Sangat jarang saya denger ada yang ngomong: ya, karena gw pengen punya karir juga.

Selain 2 alasan itu, paling nyerempet yang saya denger: sayang sekolahnya atau biar enggak suntuk di rumah. 

Kenapa, ya? Apa karena, deep down in our society, women still feel like they shouldn't have a career? Atau society kita masih menganggap tugas utama wanita itu ngurus anak?

Lama-lama jadi essay feminisme, nih. 
I should wrap this.

In the end, I can't agree that all women should work or earn money. Maybe some women's passion is only to take care of their family. Who knows. Kalau mau kerja, monggo. Kalau mau bisnis, boleh. Kalau maunya di rumah and ngurus keluarga, then do it. 

By the way, read Ika Natassa's highlight on Instagram. She's awesome.

No comments:

Post a Comment

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...