Sunday, February 19, 2017

Dikerjain dokter anak?

Bener-bener masalah dokter anak ini enggak ada habisnya. Setelah sempat ngeluh dan akirnya nemu dokter anak yang cocok, sekarang saya kembali memulai proses mencari dokter anak yang lebih cocok. 

Kenapa? Karena kejadian seminggu ini. 


Rabu
Waktu itu libur pilkada dan kebetulan adek ipar datang ke apartemen. Kami terus rame-rame makan burger yang lagi hits di Jakarta. Nah, disitu ada ice cream refill. Berhubung itu burger keluar lama, kami lahap banget makan es krim, refill pula kan.

Ternyata malemnya Zedd demam. Dikasi paracetamol sampe 2 kali dalam semalem itu, enggak ngefek. Saya juga langsung serak besoknya.

As a mother, saya tahu mana panas yang cuma panas, mana panas yang kayaknya udah infeksi virus/bakteri. Keren yah? Okay it's definitely not true. It's just a feeling of a mother. Apa mungkin saya terlalu khawatir and panik? Maybe.

But I'd rather be an overprotective mother than to risk bad things happen to my son.


Kamis
Saya and Popo langsung minta ijin datang terlambat. Terus ke dokter langganan. Dokter ini bukan Dokter Wati di Markas Sehat, tapi satu dokter di rumah sakit deket apartemen. Seperti udah dibahas di postingan ini, saya butuh satu dokter yang dibutuhkan pas Zedd sakit di weekdays, secara saya bisanya ke Markas Sehat pas weekend, dan saya ketemu dokter satu ini. Karena udah langganan, saya bawa beberapa obat yg dikasi dokter ini dan belum habis/belum sempat kepake.

Bener aja, itu dokter ngasi banyak obat yang ternyata saya masih punya beberapa dan ngasi obat baru. Listnya:

  1. Antibiotik (ini saya udah punya dari resep sebelumnya, tapi belum saya pakai karena sehari setelah minum obat dokter, Zedd enggak demam lagi)
  2. Obat pilek (masih sisa dari resep sebelumnya)
  3. Obat semprot tenggorokan biar bengkaknya cepet ilang (idem)
  4. Puyer buat obat batuk (baru)
  5. Obat anti virus (baru)

Instruksi dokter ini mirip sama kayak sebelumnya, antibiotik dikasih kalau udah konsumsi obat sehari tapi masih demam. 

Anti virus dikasih terus sampai 5 hari. Obat lainnya dikasi sampai penyakit nya hilang. Artinya kalau udah enggak pilek, obat pilek ya berhenti.

Jujur saya enggak pro antibiotik. Makannya antibiotik itu enggak saya pakai waktu Zedd sakit beberapa bulan lalu.

As for the drugs, saya sadar sih itu kebanyakan. But, at that point I really didn't have options. Saya udah nyoba klinik apartemen yang murah, enggak sembuh-sembuh. Nyoba RS lain yang deket apartemen, juga enggak cocok.

Cerita lengkapnya ada di postingan yang ini juga.

Sementara sama si dokter ini cocok, kekurangannya ya itu, obatnya buanyak banget. Saya pikir, mungkin sama dokter juga harus ada komprominya kali ya?


Jumat
Saya pulang jam 11 siang karena pihak daycare ngabarin saya Zedd demamnya naik lagi. Untung saya punya Bu Boss baik dan ngijinin saya langsung pulang. Akhirnya saya kasi antibiotik siang itu. Demam Zedd mulai turun.


Sabtu
Yang Uti and Kakung datang subuh-subuh. Karena Zedd udah seger, kami ke Bogor nengok Onty and Hanhan. 

Di Bogor, Zedd aktif banget. Maenan seru sama Hanhan. Tapi, sorenya dia demam tinggi.

Khawatir kena DBD atau sepsis yang gejalanya demam naik turun gitu, saya langsung cek darah (udah dikasi pengantar sama dokter langganan) and lanjut ke dokter anak di salah satu RSIA di Bogor.

Disinilah saya mulai ngerasa dikerjain. Dokter di Bogor ini udah senior dan ngasi penjelasan yang bikin saya kaget. Tes darah Zedd itu ternyata bukan cuma buat DBD tapi juga buat tipes dan TBC. Selain itu, masih ada tes urine buat deteksi ISK. 

Dokter Bogor bilang, sebenarnya terlalu dini buat tes TBC and tipes segala. Menurut dia wajar demam naik turun kalau radang tenggorokan kayak Zedd. 

Yang nambah kaget adalah reaksi Dokter Bogor soal obat-obatnya Zedd. 

Soal antibiotik and antivirus, menurut beliau itu sama, karena sama-sama ngelawan RNA (kata Popo, "itu DNA nya virus"). Jadi salah satu aja. Akirnya dia nyuruh lanjut antibiotik. Kasi antivirus kalau antibiotik habis dan Zedd masih sakit. Kalau kata Popo sih, ini sama aja coba-coba. Kalau antibiotik enggak mempan, ya berarti sakitnya karena virus, bukan bakteri, lanjut kasih antivirus.

Soal obat semprot buat luka tenggorokan, katanya itu obat udah mahal, cuma buat ngilangin bau mulut -___-". Jadi obat itu di stop.

Dokter ini juga stop penggunaan obat pilek sama puyer. Jadi Zedd cuma minum antibiotik sama paracetamol.

Saya sedih banget denger penjelasan dokter itu. Karena saya ngerasa dikerjain dokter di Jakarta. Not to mention, jatah asuransi tahunan kami sudah kepotong 50 persen lebih, padahal ini baru bulan Februari. Hampir semuanya buat biaya Zedd ke rumah sakit. 

Of course saya ini suudzon. Tiap dokter tentu beda cara dan aliran. Soal tes darah, apa maksudnya Dokter Jakarta, emang sekalian tes semua biar sekali tusuk? Bisa aja kan?

Saya juga enggak tahu apa dia dapat 'tambahan' dari rekomendasi tes darah sebanyak itu. Belum tentu juga. Lha bukan dia kan yang ngerjain tes nya. So, I might be wrong.

Pikiran suudzon lain adalah saya dianggap mampu karena selalu pilih pembayaran pribadi, instead of asuransi. Padahal itu saya pilih karena sistem asuransi kantor Popo itu reimbursement dengan plafon biaya maksimal per tahun.

Semua cuma asumsi and dugaan, karena saya enggak tahu benar tentang cara kerja dokter atau rumah sakit. But this experience opened my eyes. 

I should've been more curious, should've asked more questions, should've googled more. Not just said, "okay doc."

Dan itu langsung saya praktekan saat itu juga.

Dokter Bogor emang senior dan kelihatan lebih RUM (Rational Use of Medicine) daripada yang Jakarta. Tapi saya intip, lha kok nulisnya banyak bener?

Saya tanya, lha ini terus obatnya Zedd gimana, ada yang diganti? Dia cuma jawab, ini udah saya kasih. Saya berusaha tanya lagi, udah enggak bisa. 

Akhirnya saya tanya ke bagian farmasi, apa aja obatnya yang harus saya tebus. Inj jawabannya

  1. Obat puyer batuk pilek 
  2. Vitamin

Buat saya (karena saya juga batuk parah),
  1. Obat batuk
  2. Obat alergi pilek (penjelasan mbak farmasi ini enggak begitu jelas)
  3. Vitamin

Walahhhh... lha kok beda-beda tipis? Apalagi vitamin buat Zedd itu Apialis, yang mana emang vitamin Zedd di rumah. 

Saya pun dikasih obat pilek tapi kok ada kata 'alergi'? Saya buta soal dunia medis sih, mungkin alergi disini artinya enggak seh-harafiah yang saya bayangkan. Vitamin sih, saya ada stok di rumah.

Akirnya saya cuma nebus yang bener-bener perlu aja: puyer batuk pilek and obat batuk saya.

Saya enggak tahu deh, apa emang dokter itu enggak ada kode etik buat ngasi tahu pasien tentang obat apa aja yang ditulis di resep? Waktu periksa ke dokter Jakarta pun, saya yang nanya, dok itu obatnya apa aja, kalau antibiotik, apa sama kayak yang dulu?

Setelah diskusi sama Popo, kami sepakat mau coba cari dokter lain, yang sesuai sama plafon asuransi kami, dan lebih RUM. Salah satu opsinya ya periksa ke markas sehat, tapi harus nunggu weekend, karena jarak dan waktu tunggunya lumayan lama. Atau periksa malem di RS lain yang lebih jauh. 

Last, saya enggak tahu deh saya ini sebenarnya kena overcharged atau dokternya sangat waspada sampe ngasi banyak tes dan banyak obat, atau emang dokternya enggak RUM.

Yang jelas, sebagai orang tua atau pasien, saya jadi sadar bahwa saya harus lebih banyak tanya. Kenapa harus di tes banyak? Kenapa harus kasi antivirus and antibiotik barengan? Apa ya enggak tabrakan dua obat itu?

Setelah denger penjelasan, saya harus kroscek lagi ke Google. Rempong memang, tapi demi Zedd dan juga kesehatan keluarga kami (yang banyak bergantung ke asuransi kantor). Kayak kata beauty vlogger Stephanie Nicole, cari pro kontranya, and "make your well-informed decision."

No comments:

Post a Comment

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...