Do what you feel in your heart to be right- for you'll be criticized anyway. You'll be damned if you do, and damned if you don't.
-Eleanor Roosevelt-
Beberapa waktu lalu, saya sering dengar dan baca cerita tentang orang tua yang terpaksa pisah sama anak.
Ada anak temennya Yang Uti, si suami kerja di luar Jawa, si istri kerja di BUMN di satu kota di Jawa. Karena ngurus anak dan kerja sendirian itu susah, si anak akhirnya dititipin ke eyangnya di Jogja.
Ada juga temen kantor Popo yang suami istri sama sama kerja yang have long working hours. Si anak dititipin di neneknya di Jawa Barat dan baru dibawa ke Jakarta pas udah umur 1-2 tahun.
Just to add more, saya pernah baca blog yang mirip kisah pertama. Karena kerja di bank di Surabaya, si ibu terpaksa pisah sama anaknya yang masih newborn untuk dititipin ke eyangnya di Jakarta. Cerita ini berasa paling kena di hati saya, karena si ibu nulis sendiri perasaannya (saya enggak cuma denger dari Uti atau Popo).
At that time, it was so easy for me to judge. Kok bisa sih? Kok tega sih? Kok tahan sih?
Sampai saya ngerasain sendiri. Yup, sekarang ini saya lagi LDR sama Zedd. Dia lagi di Jogja sama eyang untuk sementara waktu.
Semua berawal dari obrolan kami soal puasa. Jam operasional daycare lebih pendek, maju dari jam 6 ke jam 5. Jam pulang kantor kami juga maju sih, tapi kayaknya tetep enggak akan sempet jemput Zedd jam 5.
Sebenarnya selama ini, ibu asuh Zedd yang nemenin sampai saya pulang kantor. Tapi buat bulan puasa ini, saya kok enggak tega. Apalagi event-event bakal diadain pas jam buka puasa. Artinya, hari biasa si ibu asuh bakal pulang abis magrib dan kalau saya ada event, si ibu bakal pulang abis taraweh.
Waduh! Masak sebulan si ibu enggak bisa buka di rumah atau taraweh?
Popo sendiri enggak bisa diharapkan buat jemput. Walaupun teorinya dia pulang jam 16.30, load kerja + macet Jakarta pasti bikin dia nyampenya abis Magrib.
Setelah masalah jemput-menjemput ini, kami juga mikir masalah mudik. Kami belum dapat tiket mudik. Bayangin betapa ramainya suasana pas mudik, ditambah mahalnya harga tiket PP, tiba-tiba tercetus ide, gimana kalau Zedd dititipin Jogja dulu?
Wacana ini udah kami obrolin lama dan kami juga sounding ke ibu asuh dan para eyang. Yang enggak kami kira, Yang Uti and Yang Kung super duper excited. Belum fix aja, mereka udah heboh beliin sepeda sama mainan-mainan.
Kami sempet maju mundur, maju mundur. Apalagi si ibu asuh ternyata menawarkan diri buat jagain Zedd. Beliau bilang, saya udah diskusi sama suami saya. Saya bisa kok Bun jagain Zedd.
Alasan lain mungkin terkesa sepele dan saya bakal dijudge habis-habisan. Jujur, saya deg-degan puasa sambil ngurus anak. Kesibukan nyiapin saur, belum nyiapin sarapan, dan kelakuan Zedd yang suka bikin emosi. Saya takut batal atau malah break down, which I already experienced.
Jujur-jujuran lagi, there's a small part of me that believe this might be good for Popo and I, as a couple. We can reconnect by going on dates. Like, taking a break from being parents, and be couples again.
"Kebebasan jadi pasangan lagi" itu enggak bisa kami nikmati karena orang tua kami semua di Jogja. Beda sama Sipa yang bisa sering date night karena Hanhan dititipin di Nyai-Yayi. So it's kinda a big deal.
Setelah diskusi, mikir kok kami jadi ortu egois yah? Tapi apa yakin mau ngajak Zedd mudik padahal belum jelas naik apa? And we kinda need extra money. Kalau Zedd enggak ada di Jakarta, bisa ngehemat biaya 1 bulan daycare bisa buat bantu keluarga di Jogja.
Saya juga tanya temen yang pernah pisah sama anaknya. Dia pisah 3 bulanan dan beda negara. She said it was hard but she survived it.
Akhirnya kami manteb nitipin Zedd di Jogja. Baru semingguan. And beneran perasaan saya aneh. Saya sedih Zedd enggak ada. Tapi saya juga senang karena enggak lagi gedebugan pas pagi. Enggak senewen pas enggak ada ojek (takut daycare keburu tutup).
Beneran saya bisa nangis, trus after a couple of minutes I feel, this is okay. I also deserve a break, so does Popo.
Zedd sendiri keliatan seneng di Jogja. Eyang manjain dia banget. Video call tiap hari, mainannya baru terus. Yah, Zedd juga berhak ngerasain tinggal di rumah yang lebih besar. Kata Eyang, dia hobi banget muter-muter dari 1 kamar ke kamar lain. Small things yang dia enggak bisa dapat di apartemen mini.
Tiap pagi diajak muter-muter naik motor sama Yang Kung. Walaupun wajahnya lempeng, he actually enjoyed it very much lho. Jangan coba nurunin dia dari motor, bakal ngamuk!
So here I am, having long distance relationship with my baby. Cuma 1.5 bulan, tapi mikirnya udah kayak mau pisah setahun. Hahahahahaha... emak-emak lebay.
I also learn not to judge other family. Ada yang ldr sama suami, ada yang ldr sama anak. Ada yang cuma ketemu anak setahun sekali. There are so many kind of families and every single one is unique. Apapun cara hidup yang dipakai, ya itu yang terbaik buat si keluarga itu.