Friday, April 1, 2022

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

 Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis soal berangkat ke Belanda, nemenin suami yang s2. 


Lho fotonya kok di Budapest?



Latar belakang nulis ini adalah saya merasakan sendiri agak sulit googling info spesifik tentang proses bawa keluarga ke Belanda, biaya hidup di Belanda, dan sejenisnya. Sama sulitnya kayak nyari free ongkir di marketplace, nyempil-nyempil. Jadi saya coba tambahin info yah. 


Mari kita mulai dari bagian yang paling penting, LAKUKAN alias DO IT alias money. Hehehehee…. Beasiswa paporit sejuta umat ini sayangnya tidak memberikan jatah budget untuk keluarga bagi mahasiswa s2. Buat s3, ada tambahan uang untuk keluarga yang baru keluar di tahun kedua. 


Disclaimer: saya istri dari penerima beasiswa s2. Bukan s3, bukan juga yang dapet beasiswa, apalagi yang ngasi duit. Jadi plis recheck lagi info-info di sini ya!


Oke balik lagi ke duit. To the point aja, ini masalah paling gede dan masalah utama buat bawa keluarga ke Belanda. Sayangnya mahasiswa s2 enggak boleh kerja, begitu juga yang ngekor sama si penerima beasiswa, alias saya. Ini tertulis di visa saya, enggak boleh kerja.


Apa ada cara buat cari itu dooit selain dari beasiswa? Yaaahhh sesuai kata orang dulu, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Perkara jalannya di jalan yang bener atau di pinggir jurang, itu masalah lain ya. Pokoknya yang tertulis di aturan beasiswa dan visa saya sebagai istri nebeng, enggak boleh kerja. Untuk kesekian kali, ini untuk s2 ya. S3 aturannya agak beda, setau saya.


Mau enggak mau, kami siapin dana sendiri. Sayangnya perhitungan kami juga sedikit meleset. Ini daftar yang bikin meleset.


  • Biaya sewa rumah lebih tinggi dari perkiraan. Kami pikir biaya sewa rumah itu antara 900an euro, ternyata di atas 1000. Enggak cuma itu, rumahnya rebutan. Di sini housing kurang, terutama buat keluarga mahasiswa. Mahasiswa atau individual lebih gampang carinya karena ada asrama atau shared places gitu. Saran saya, segera cari rumah pas udah fix dapet beasiswa. Antri rumah ke senior-senior yang udah di Belanda duluan.
  • Biaya asuransi juga lebih mahal dari perkiraan. Asuransi suami tercover beasiswa, tapi keluarganya enggak (lagi-lagi karena s2, bukan s3). Ini mayan juga nominalnya.
  • Subsidi enggak semudah teorinya. Tadinya saya pikir bakal dapat subsidi rumah, subsidi sosial, dan teman-temannya. Ternyata enggak bisa. Penjelasannya cukup rumit, tapi saran saya kalau mau aman, hitung biaya hidup tanpa subsidi.
  • Pajak-pajak tahunan yang enggak kepikiran. Yang saya inget banget itu pajak sampah tahunan yang sejumlah 500 euro. Huks…


Diluar masalah duit ini, hal-hal lainnya cukup mudah. Belanda in general negara ramah, orangnya baek-baek. Visa saya dan krucils cukup mudah. Begitu juga proses ngubah visa itu jadi ktp sini. 


Sekolah apa lagi. Lebih ribet daftar member per-oil2-an deh. Di sini daftar sekolah cuma email, datang isi form, trus besoknya masuk. Pihak sekolah ramah banget, welcome banget, rasanya kayak bayar sekolahnya Rafathar, padahal mah gratis. 


Ada sih biaya tahunan 50 euro, itu juga lamaaaaa bener ditagihnya. Itu itungannya murah banget, lha tiket masuk kebun binatang aja 20 euro. Biayanya itu dipake buat kegiatan anak-anak juga kok.


And we’re done!

Good luck buat yang mau nemenin pasangannya ke Belanda. You’re in for a wonderful ride. 

Hope this post helps.

Monday, August 23, 2021

Keliling Eropa pakai Eurail/Interrail Pass 2021

Long time no write. Selain karena belum ada bahan yang menarik, saya lagi seneng-senengnya trading. 


Tapi sekarang ini saya lagi berada di kereta regional Jerman, jurusan Passau - Munich, no wifi. Jadilah luang 2 setengah jam dengan isi kepala penuh cerita selama Euro Trip 2021. So I want to share some of those in this post, lebih tepatnya soal Eurail Pass atau Interrail Pass. Ini pass atau sejenis tiket kereta yang bisa dipake di Eropa. Eropa kan negaranya banyak, keretanya juga banyak. Gampangnya dengan Eurail Pass ini kita bisa naik keretanya Belanda, keretanya Jerman, dan negara-negara lain. 


Kirain sih gampang gitu ya. Ternyata ribet bok. Saya and Popo harus riset ekstra keras karena websitenya cukup bingungin. Nah setelah dijalanin, kami mulai lebih paham nih. Di postingan ini saya mau share info Eurail dan Interrail pass yang enggak ada di websitenya, atau kurang jelas. 



Bedanya Eurail dan Interrail apa?

Eurail buat turis luar Eropa. Interrail buat resident dalam Eropa. Nah kalo kami gimana? Popo mahasiswa internasional, saya nebeng dia. Ternyata kami bisa pakai Interail, karena ada KTP Belanda, walopun cuma 2 tahun. Jadi kalo ada mahasiswa-mahasiswa yang lagi belajar di Eropa, boleh tuh beli Interrail. Lebih murah. 


Tapi Interrail ini enggak bisa dipake di negara asal ya. Karena kami pakai id Belanda pas beli, ya Interrail gak bisa dipake di kereta regional Belanda. Ini sih enggak masalah, karena kami udah punya ov chipkaart alias kartu transportasinya Belanda. Jadi pas sampe Belanda ya pake kartu itu lagi. 


Logikanya sih resident lain juga punya kartu transportasi masing-masing ya. Jadi no problemo. 



Tentang Seat Reservation.

Di website Eurail/Interrail dibahas soal seat reservation ini, tapi dikit. Akhirnya kami mulai memahami setelah menjalani. Awalnya saya kira, setelah beli Interrail, saya jadi bebas naik turun kereta mana aja. Ternyata tidak sodara-sodara. 


Kami tetep perlu booking “seat reservation” untuk beberapa kereta. Besarnya tergantung pake kereta negara apa. Beberapa kereta juga gak masuk akal sih biayanya. Seat Reservation ini juga setau kami dibayar per kereta yang high-speed train. Jadi misalnya ganti kereta 2x ya bayar seat reservation nya 2x, kesel ya? Hahahah….


Ini info yang kami dapet dari website dan dari booking seat reservation selama euro trip 2021.


Kereta Italia, Trenitalia

Kereta Italia yang antar kota (high speed train) HARUS seat reservation 10 euro/orang. Tapi anak-anak enggak diitung. 


Kami menempuh perjalanan dari Roma-Venice itu nambah 20 euro. 

Kalo mau skip ini, sebenernya bisa aja, dengan cara pake kereta regional atau bahasa gampangnya pake KRL nya Itali. Masalahnya itu makan waktu lebih lama dan harus gonta ganti kereta. Buat kami yang bawa 2 anak kecil, ya maleeuuuss… Bisa 3 jam enggak rewel aja udah bagus. 


Seat reservation ini bisa online, bisa juga ke kantor tiketnya ya. Rada ribet kalo online. Kami berempat akhirnya kepisah-pisah trus ditaro di gerbong silence. Waduh, anak-anak suruh silence begimana critanya sih? Tapi mbak petugas baek banget kok. Akhirnya disatukan lagi. 


Free wifi + colokan.





Kereta Austria, OBB

Kereta Austria ini enak banget karena seat reservation nya murah, berdua cuma 6 euro. OBB juga punya yang namanya gerbong family. Jadi kami otomatis masuk sana. Haduh cakeeeppp… Mamak enggak usah worry anak-anak tantrum, karena isinya anak-anak semua, ada area tv pula.






Kami naik OBB dari Venice - Vienna. Nah, di sini harus jeli. OBB itu keretanya Austria, yakale bisa seat reservation di kantornya Trenitalia. Kami dengan polosnya masuk kantor Trenitalia buat reservasi kereta OBB, ya ndak bisa. Ceritanya kami mau seat reservation manual biar duduknya enggak pisah-pisah lagi, tapi gagal. Kami dapet rute yang ganti keretanya banyak karena ya sama Trenitalia dicariinnya yang pake kereta dia kan. 


Kami akhirnya booked seat reservation online dan kepisah-pisah lagi, tapi di gerbong family. Akhirnya ya tetep balik jadi 1 lagi setelah dapet black spot. Apa tuh black spot? Ini kereta unik nan keren sih. Jadi di tiap kursi ada tulisannya tujuan, misalnya

A - Z ini berarti kursi booked sama penumpang dari A ke Z.

X - Y ini berarti kursi booked sama penumpang dari X ke Y. Artinya kalo kita tujuan A ke E, ya pake aja. Toh orangnya naik setelah kita turun. 


Trus setelah kereta berangkat dari tujuan itu, tulisannya otomatis ilang, jadi black spot. Maksudnya gini. Misalnya saya book seat tujuan A ke Z. Setelah saya naik dan duduk di kursi saya, kereta jalan, ya tulisannya ilang. Karena udah didudukin juga kursinya kan. Tapi yang tujuan B-Z ya masih nyala. Bakal ilang setelah kereta ngelewatin B.


Intinya orang bisa pindah-pindah kursi setelah kereta jalan dengan cari black spot yang belum didudukin. 


Free wifi + colokan.



Kereta Jerman, ICE

Kami naik kereta ini dari Vienna - Frankfurt. Seat reservation sih mayan murah yah, 8 euro/orang. Tapi anak-anak diitung. Halah… jadi lebih mahal pas pake Trenitalia dong. Karena anak kami 2. Karena sayang uangnya dan ICE ini tidak mengharuskan seat reservation, kami bonek aja deh. Cari black spot di kereta. ICE dan OBB ternyata mirip sistemnya, pake black spot itu.


Blackspot. Kosong nih kursi.

Ada yang book.



Lucky for us, ternyata di tiap gerbong itu ada kayak 4 kursi prioritas buat family. Mirip sama di MRT ada kursi prioritas buat lansia, nah ternyata di high speed train ada juga zona itu untuk family. Make sense sih. Karena high speed train kan lama ya, 3 jam sampe belasan jam. Kalo anak kepisah sama orang tuanya ya repot.


Wifi + colokan juga ada. 






Kereta Paris, Thalys (+ kereta Swiss yang enggak tahu namanya)

Inget di atas saya nulis soal enggak masuk akal? Thalys ini salah satunya. Seat reservationnya 30 euro/orang. Padahal harga tiket kereta ketengan Amsterdam-Paris itu ada yg 35 euro/orang, enggak perlu seat reservation kalo ketengan. Udah included.


Karena alasan itu, kami enggak naik 2 kereta ini. Jadi info ini cuma based on cerita dan internet aja.


Eman-eman kalo pake Eurail/Interrail ke Paris atau via Paris. Mending beli ketengan atau hindarin eurotrip lewat Paris. Kecuali budget emang ada ya. 


Swiss udah terkenal mahal, termasuk seat reservationnya. Karena trip kami ini budget terbatas, kami skip Swiss dulu. Semoga ada rezeki trus ke sananya kayaknya mau ngeteng kereta atau pesawat aja deh. 



Cari Jalur Termurah

Masih berhubungan dengan seat reservation, saya sendiri jadi menghindari Paris dan Swiss dalam perjalanan Roma - Utrecht (Belanda), dan memilih Austria - Jerman, baru Belanda.


Instal App 

Soal jalur dan seat reservation, semua udah ada lengkap dan gampang di Interrail app. Sampe petanya. Ubek-ubek app nya, niscaya lebih paham geografi nya Eropa. Hahaha…


Connect-in juga app sama pass nya. 


Itu sedikit info soal Eurail/Interrail yang mau saya share. Memang terbatas karena saya cuma cover rute Itali-Belanda dan pakai yang 4-day pass. Still hope it helps yah. Stay safe and healthy.

Sunday, December 20, 2020

Cerita GTM Anak-Anak karena Pindah Negara

Setelah jadi ibu selama 5 tahun dari 2 anak, Zedd (5) dan Elle (2), GTM alias gerakan tutup mulut sebenernya bukan hal asing ya. Every once in a while pasti ada lah fase anak-anak GTM. Alasannya juga macem-macem, ya tumbuh gigi, ya radang tenggorokan, atau ketika eksperimen masakan saya gagal.


Saya sendiri udah punya beberapa trik dan tips yang selama ini cukup berhasil. Triknya cukup sederhana kok, 

  • Ajak anak-anak turun ke playground atau mall.

Apartemen kami di Jakarta cukup sempit. Pas anak-anak GTM, biasanya saya ajak mereka main di playground atau mall di bawah apartemen. Walaupun makan sambil jalan/main itu enggak ideal, sesekali pas GTM enggak apa-apa lah ya.


  • Stok makanan favorit anak-anak

Layaknya tinggal di komplek, apartemen kami ini juga banyak banget tetangga jualan. Beberapa diantaranya itu favorit anak-anak, seperti nugget homemade atau spaghetti brûlée. 


Sayangnya tips dan trik andalan saya ini enggak berguna di kondisi saat ini, karena kami sekeluarga baru pindah ke Belanda. Huks. 


Di negara kincir angin ini, kami tinggal di kota kecil dan enggak ada mall. Boro-boro mall, stasiun kereta aja enggak ada. Masih lebih accessible Citayeum ya, hahaha... 


Jadi tips pertama enggak bisa lagi dijalankan. Ada sih taman di sini, tapi kami pindah di bulan November dan suhu mulai dingin, anak-anak justru enggak selera makan karena kedinginan. Oh iya, kami juga masih harus karantina mandiri 10 hari karena pandemi. Tips kedua juga enggak bisa. Enggak ada tetangga yang jualan. Huhuhu... 


Di hari-hari awal, saya udah mulai senewen. Saya cuma punya roti tawar dan sereal. Dua sarapan favorit anak-anak. Eh, mereka enggak doyan dong. Pas saya coba, ternyata selainya lebih asam daripada selai di Indonesia. Serealnya pun pahit, enggak manis. Wah, makin pusing saya. 


Saya paham kalo anak GTM itu biasa. Tapi GTM setelah kami terbang 14 jam di pesawat waktu pandemi Covid-19, itu bikin deg-degan parah. Imunitas anak-anak enggak boleh turun dan salah satu cara jaga imunitas ya dengan memastikan asupan nutrisinya cukup.


Kalo udah mentok gini, saya telpon Eyang Uti-nya anak-anak buat curhat sambil minta masukan. Ngobrol sama Uti selalu bikin saya lebih tenang dan bisa mikir lebih jernih. Menurut beliau saya nya jangan stres, sekarang fokus aja apa yang bisa masuk ke mulut mereka. Toh mereka kan anak-anak, jangan disamakan porsinya sama orang dewasa. 


Iya juga, ya. Kok ya saya enggak kepikir soal ini? Akhirnya saya cari artikel soal porsi ideal makan anak dan bahan makanan apa yang bisa meningkatkan imunitas.Strateginya adalah fokus ke kualitas daripada kuantitas. Biasanya saya langsung masuk ke website nya The Asian Parent Indonesia, biar lebih cepet. Soalnya kalo cari langsung dari Google, saya masih harus nyeleksi website-websitenya, ribet. Belum lagi kalo masuk portal berita yang artikel pendek pendek tapi harus klik klik terus. Yang pasti-pasti aja lah. 


Keputusan saya tepat, saya menemukan artikel tentang porsi makan balita di sini:


https://id.theasianparent.com/porsi-makanan-anak-balita-yang-cukup-untuk-tumbuh-kembangnya


Ternyata porsinya enggak sebanyak yang saya pikirin. Untuk satu kali makan cukup 2-5 sendok makan nasi atau 1 lembar roti. Karena anak-anak masih adaptasi tempat dan cuaca baru, saya pake standar yang bawah aja. Kalau mereka mau 2-3 sendok makan, ya udah cukup. 


Untuk buah, 1/4 apel ternyata cukup atau standar minimal buat sekali makan. Enggak seberat yang saya kira, 1 apel utuh. Hahaha...


Mulut belepotan yang bikin happy. Walaupun baju kotor, yang penting nutrisi cukup.



Ada juga porsi buat susu yang alhamdulilah anak-anak doyan setelah minggu kedua. Di minggu pertama, mereka agak males karena biasa minum susu berasa kayak susu coklat atau susu stroberi. Surprisingly, itu susah dicari di sini. Susunya cenderung putih semua. Jadi asupan susu Insya Allah cukup, karena takarannya 125 ml.


Zedd juga semangat makan. Sama-sama berjuang di tempat baru ini ya, Nak,




Protein susah nakar gram-gramannya, tapi patokan saya di telur, karena anak-anak doyan telur. Balita ternyata butuh 1/2 - 1 butir telur buat 1 HARI. Wah, ternyata not bad ya. Kirain 1 kali makan harus ada protein 1 telor selama ini. 


Of course makin banyak makin bagus ya. Cuma di kondisi GTM gini, saya fokus ke yang minimal-minimal dulu aja. 


Walaupun kuantitas makanan mungkin minim, saya juga fokus ke kualitas bahan makanan yang emang bernutrisi dan bagus buat imunitas. Semuanya ada di artikel ini:


https://id.theasianparent.com/meningkatkan-imunitas


Alhamdulilah banyak bahan di artikel itu yang ada di sini, kayak keju, bayam, jahe, oats, alpukat, pisang, minyak zaitun. Harganya pun ada yang lebih lebih murah daripada di Indonesia, terutama keju dan olive oil.


Oats + madu lokal + chia seed. Tambah kismis buat manisnya. Alhamdulilah doyan. 

——

Sekarang sudah hampir 2 bulan kami di sini. Alhamdulilah anak-anak mulai bisa adaptasi. Mereka sudah mau makan selai asem itu dan susu putih plain. Mereka juga doyan banget sama oats. Kami juga sudah menemukan beras yang pas. Saya pernah coba kasi mereka roti dan pasta sehari penuh, malemnya Zedd minta nasi, hahaha...


Buah juga mereka mau makan, walaupun beda dari yang di Indonesia. Biasanya makan kelengkeng, melon, atau mangga, di sini jadi banyak apel dan anggur. Khusus buat Zedd, dia dipaksa makan buah juga sama sekolahnya, karena bekal sekolah hanya boleh buah. Hahahaha,,, blessings in disguise. 


Bekal Zedd di hari terakhir sekolah, sebelum lockdown.



Alhamdulilah juga sampai sekarang kami sehat.


Itulah sedikit cerita saya soal GTM. Pasti berat, apalagi pas pandemi gini. Saran saya, don’t be too hard on ourselves. Banyak baca, belajar dan berdoa. Apalagi zaman sekarang, banyak ilmu parenting yang gampang didapat. Tentunya dari website parenting yang terpercaya, ya. Kayak Asian Parent. 


Yang mau ceki ceki atau cari inpirasi juga, ini webnya The Asian Parents ya.

https://id.theasianparent.com


Stay safe and healthy everyone!!

Friday, December 4, 2020

Pengalaman Terbang ke Belanda saat Covid-19



Pergi ke Eropa adalah salah satu bucket list saya. Tapi saya enggak pernah menyangka perginya bakal pas pandemi

Covid-19 dan bawa 2 anak kecil, tanpa bantuan suami atau orang tua. 


Padahal selama pandemi ini, saya termasuk yang takut naik pesawat. Bolak balik Jogja-Jakarta dijabanin pake mobil, bahkan naik kereta juga takut. Tapi yakali ke Eropa naik mobil. Akhirnya ya naik pesawat, banyak-banyak baca doa dan ikhtiar.


Awalnya saya mau terbang dibantu Eyang Uti dan Eyang Kakung. Qadarullah, pandemi datang dan visa turis untuk merrka enggak ada. Terpaksa saya dan anak-anak berangkat sendiri pake visa tinggal sementara. 


Jadi kami terbang ke Belanda tanggal 29 Oktober 2020, pas long weekend. Ketika jalur Cikampek macet, Bandara Soetta ternyata kosong. 


Buat terbang ke luar negeri ini ternyata tidak seribet yang saya bayangkan. Apalagi pas baca story salah satu celebgram yang liburan ke Bali, ribetan ke Bali kayaknya. Ini yang saya siapin buat 14 jam penerbangan.


  1. Rapid Test

Sebelumnya saya udah nanya ke pihak airline, Garuda Indonesia. Apa aja yang harus saya bawa. Katanya tergantung negara tujuan. Belanda sendiri enggak pakai syarat apa-apa. Cuma isi formulir kesehatan dari website imigrasi mereka. Tapi buat jaga-jaga, saya rapid test dulu di JIH Jogja. 


Rapid ini akhirnya diminta sama mbak counter check-in. Tapi enggak antre, karena terminal internasional kali ya? Waktu saya tanya mbaknya, katanya emang Belanda enggak minta, cuma kayaknya mbaknya pengen liat aja? ðŸ¤£


  1. Visa

Visa turis ke Eropa belum dibuka. Saya tetap bisa berangkat karena pake visa non-turis. Di sini, kalo enggak salah, saya itu masuk kategori reunion karena mau nyusul suami. 


Dari yang saya denger, Belanda atau Eropa (?) concern banget sama reunion gini. Jadi visa saya lolos tanpa masalah. No interview whatsoever. Cuma kumpulin berkas trus nunggu. Ada sedikit drama di sana sini, tapi pihak Imigrasi dan Kedutaan Belanda baek - baek dan bantuin selesin beberapa masalah teknis. Alhamdulilah Popo milih negara yang tepat buat sekolah. 


  1. Formulir Kesehatan

Tinggal print dari website imigrasi Belanda dan diisi di pesawat. Ternyata di atas juga dikasih sama pramugarinya. In-case yang enggak pada ngeprint kali ya.


  1. Masker Dobel-Dobel

Udah jelas lah ya. Walaupun pas di atas akhirnya enggak full 14 jam pakai masker, karena saya justru sesak nafas, dan anak-anak juga saya lepas pas tidur karena takut mereka sesak nafas. 


Saya enggak pakai face shield karena menurut saya enggak ada gunanya. Ini setelah saya baca-baca artikel soal face shield ini. Ini artikelnya, but just simple google search will do.


https://www.bbc.com/future/article/20200806-are-face-shields-effective-against-covid-19


https://www.livescience.com/face-shield-visualization-covid-19-spread.html


  1. Young Living

Saya bukan tipe yang percaya sama essential oil atau tipe pengobatan alternatif. But Covid made me turn to YL as an effort.


Saya bawa Immunity Bomb roll yang diresepin Sinta. Saya juga bawa oil eucalyptus buat dihirup-hirup.


  1. Pilih Garuda Indonesia

Karena penerbangannya langsung CGK-AMS. Harapannya mengurangi kerepotan (bawa balita 2 coi) dan mengurangi kontak sama orang-orang juga. 


——

Alhamdulilah perjalanannya lancar. Turbulance mayan di atas India. Tapi begitu masuk Rusia, makin tenang sampe landing.


Anak-anak enggak rewel sampe kira-kira 1 jam sebelum landing. Jadi detik-detik saya landing di Eropa buat pertama kali, enggak kerasa. Karena saya lagi repot megangin Elle yang udah rewel 14 jam di pesawat. 


Landing mulus, alhamdulilah akhirnya nyampe Eropa juga. ðŸ˜­ðŸ˜­ðŸ˜­


Drama selanjutnya adalah Zedd yang enggak mau pipis sebelum landing. Saya juga oon, percaya lagi kalo dia bisa nahan. Padahal dari turun pesawat sampe toilet itu jauuuhhh... 


Beneran dong, Zedd kebelet pipis pas antri imigrasi. Untung mbaknya imigrasi enggak nanya macem-macem. Langsung lewat aja. Trus kami lari ke toilet. Masih bawa paspor di tangan. Masuk toilet, paspor jatuh di lantai, untung enggak masuk closet. Trus Zedd pipis aman, untung enggak kecer kena paspor di lantai. 


Alhamdulilah alhamdulilah alhamdulilah.


Tinggal 1 masalah kecil, angkat 3 koper dengan berat rata-rata 25-30 kg ke atas trolley. Akhirnya Zedd bantu dorong 1 koper, saya bawa trolley isi 2 koper + 2 carry on. Elle jalan kaki. Akhirnya saya dorong troller sambil manggil-manggil mereka biar enggak keluar jalur. Kayak gembala bebek? Hahahahaha...


Begitu keluar pintu. Alhamdulilah Popo udah sampe. Karena roaming HP saya enggak bisa. Kalo dia enggak ada, udah enggak tahu lagi mau gimana.


Kami naik mobil sewaan ke Wageningen, kota tempat Popo sekolah, buat lanjut isolasi mandiri 10 hari. 


Enggak ada rapid atau swab, keluar airport ya keluar aja. Formulir kesehatan dikasih ke Mbak Imigrasi dan enggak ditanya apa-apa lagi. 


Santuy ya?

Padahal masuk Indo aja ribet banget menurut cerita salah satu travel blogger yang baru pulang dari Turki.


Entah karena kita dijajah Belanda, trus santuy nya nurun? Atau simply ini cara Allah SWT melancarkan perjalanan saya? Wallahualam. 


Dokumentasi keribetan saya ada di highlight IG @nadiasarasati, ya. In case ada yang kepo. Mungkin enggak lengkap karena saya rekam sendirian, semampu saya. Hahahahaha...









Friday, November 13, 2020

Double Standard waktu Covid

 Another Covid story, now from the Netherlands. Yup, I moved. But more on that later.


Udah lama mau nulis soal ini. Tapi hidup masa covid penuh rasa cemas dan bikin saya engga mood buat nulis. Now that things seems like slowing down, jadi pengen nulis soal ini.


Pandemi ini unik, terjadi di era sosmed dan informasi soal ini tersebar di mana-mana. It’s so easy to find the valid information about this virus. Paling gampang: portal berita, sosmed WHO, sosmed Kemenkes, dll. Banyak lah.


Lucunya, walopun informasinya sama, cara nangkep orang beda-beda. Okelah, banyak ahli yang beda pendapat soal virus dan penyakit ini. Namanya juga penyakit baru. 


Tapi saya ngomongin beberapa info yang generally sama. Contohnya gini, bulan Agustus lalu Sipa dan keluarga nya pulang ke Jogja pake mobil. Begitu dia sampe Jogja, saya langsung semprot semua bawaannya pake disinfektan dan suruh dia ganti baju.


Meanwhile, dia nya santai. Karena menurut Sipa, dia enggak turun dari mobil. Tapi suaminya turun di rest area buat isi bensin, ini buat saya sama aja. Kan abis isi bensin, Suami Sipa kan ngobrol ama Sipa di mobil. 


Perpisahan sama keluarga sekalian ultah saya dan ponakan. Kami otw dari Jogja ke Bogor bulan Oktober. Sebelumnya Sipa yang ke Jogja di bulan Agustus.



Apa Sipa berarti santai? Enggak juga. Dia justru lebih parno lihat saya, Uti, Kakung dan anak-anak sering ke mall. Padahal kami ke mall pas mall baru buka, trus pulang 1-2 jam. 


Tuh kan, standarnya beda-beda. Untungnya saya dan Sipa ya saling respect aja. No debat atau gimana lah. 


Beda standar ini pernah bikin hubungan emak-emak sekolah jadi gimanaaaa gitu. Pasalnya ada ibu-ibu yang weekend getaway (ini sekitar abis lebaran ya, jadi masih belum dibuka kayak sekarang), trus ada juga ibu-ibu yang babar blas enggak keluar kecuali grocery, itupun anaknya enggak diajak.


Alhasil, ibu yang “taat” PSBB nge-judge ibu yang enggak taat. Update story, update quotes, yaaa gitu-gitu deh. Waduh...


Saya sendiri tipe yang ngajak anak belanja groceries dan keluar ke playground. Ya karena kasian anaknya bosen. Tentu perlu ditekankan berkali-kali, kalo saya selalu usaha pake protokol kesehatan. 


Pernah ajak anak-anak ke Merapi Park, rame, ya enggak jadi. Walaupun udah jalan 20 kiloan kali dari rumah. Pernah juga ajak Elle masuk Fun Zone (kayak Kidzoona tapi punya nya Time Zone). Saya lihat sepi, trus tiap Elle pegang bola atau apa, ya sesering mungkin kasi hand sanitizer. Mungkin kalo ibu-ibu lain baca, bakal bingung juga. Hahahaha...


Menurut saya sih, kita enggak pernah tahu situasi orang lain. Orang yang tetep liburan, yang tetep clubbing, yang tetep mudik. Harusnya ada alasan yang jelas, karena siapa juga sih yang mau kena virus ini?


Tapi enggak semua alasan bisa dijebreng juga kan. Contohnya gini deh, saya dari Agustus-Oktober sering keluar kota, Jogja-Pekalongan, Jogja-Bogor, Jogja-Jakarta. Itu semua ada keperluan, ke kelurahan, ke notaris, ada juga yang ultah bareng sama ponakan sekalian perpisahan. Soalnya setelah di Belanda kan susah ketemunya. 


Terlalu berlebihan kayaknya kalo semua alasan harus dikasi tahu di sosmed, privacy juga. Lebih mudah share foto trip atau kelucuan anak-anak sama sepupunya. 


Sekarang pandemi masih berjalan, tapi semua mulai normal. Standarnya makin macem-macem lagi. Ada yang berani liburan, ada yang berani naik pesawat, ada yang naik mobil.


Ada juga yang kayak saya, pas pandemi malah terbang keluar negeri, naik pesawat 14 jam. Di pesawat juga kadang lepas masker. 





Nekat? Enggak lah. 

Kepepet. 

Kami harus pindah, harus berangkat, kepaksa juga lepas masker di pesawat. Dan deg-degan sepanjang jalan. 


Cuma bisa berdoa, semoga pandemi segera berakhir. 


Amin










Saturday, July 11, 2020

Pengalaman Mencari Rumah di Jakarta Part 1, Milih Area

Pas lagi wabah, antara takut keluar sama punya banyak waktu, akhirnya ide cari rumah muncul lagi. Selain Shopee, website yang jual rumah mulai sering dibuka. Ya, enggak salah sih. Sekarang kami udah punya 2 anak, beda gender pula, sooner or later, kami harus keluar dari #apartemenmini.


Poin plusnya lagi, sekarang kami udah lebih lama di Jakarta, jadi lebih tahu area-areanya. Udah lebih tahu juga apa aja yang harus dihindari. Nah, ini pengalaman saya cari rumah di Jakarta. Pertama, soal milih area rumah di Jakarta, terutama Jakarta Selatan. Ini yang saya dapat setelah riset dan tanya-tanya sekitar:


  1. Enggak cari rumah dekat stasiun

Mau itu stasiun MRT, LRT, ataupun KRL. Kenapa? Karena Popo, si suami, enggak mau naik KRL. Udah pernah dicoba beberapa kali waktu ke rumah adek tercinta Si Sipa di Bogor, itu aja udah keliatan enggak betah. Padahal kami ke sana pas weekend dan enggak sepenuh weekdays.


Saya juga pernah punya pengalaman enggak bisa masuk kereta di Stasiun Sudirman di hari Jumat jam 3 sore, saking penuhnya. Saya tetep pengguna KRL, tapi enggak di jam-jam sibuk.


Buat MRT dan LRT juga enggak jadi pilihan. Soalnya kantor Popo enggak deket stasiun MRT. Bakalnya deket LRT sih. Tapi ngeliat pace pembangunan di Indonesia, bisa-bisa itu LRT baru jadi pas Popo mau pensiun. Hehehehe... coret deh.


Thus, kalo liat rumah dijual dekat Stasiun Citayeum atau Depok gitu, kami justru langsung coret.



  1. Enggak cari rumah deket tol

Alasannya mirip. Popo ngantor naik motor. Enggak tahu sih kalo dia makin tua. Cuma sejauh ini enggak ada plan ke kantor naik mobil. Lagi-lagi lihat Sipa yang pp Bogor-Jakarta naik mobil, bikin kami enggak yakin mampu kayak gitu, baik secara fisik maupun secara finansial (bensin+tol mahal, Beb).



  1. Cari rumah yang deket Halte Busway Ragunan

Tetep pada alasan yang sama, kantor Popo deket salah satu halte Transjakarta yang ujungnya Ragunan. Kalau sewaktu-waktu, dia lelah atau butuh naik transportasi umum, ya cuma Transjakarta jalur 6 ini. Karena daerah kantornya enggak deket KRL, MRT, atau LRT. 


Semua ini emang fokus ke kantor suami, karena kayaknya dia udah betah dan enggak ada niatan pindah dalam jangka waktu yang cukup lama.



  1. Sekolah - RS - Indomaret

Hal-hal di atas pasti jadi pertimbangan, cuma kami enggak terlalu concern karena ambisi kami maunya masuk area Jakarta Selatan, Insya Allah banyak pilihan sekolah, RS, atau minimarket/supermarket.



 5. Paling penting, pertahankan lifestyle

Kalo ada hal-hal yang kami pelajari dari teman-teman dan senior yang udah beli rumah sebelumnya, adalah perubahan lifestyle itu enggak mudah. Banyak yang bilang, gpp kok beli rumah di bodetabek, buktinya banyak yang commute ke jakarta dan bisa bisa aja.


Teorinya gitu, tapi praktek dan cerita orang sekitar kami beda. Sipa salah satunya, awal pindah Bogor sempet naik KRL, trus senewen. Deg-degan tiap mau berangkat, dapet kursi enggak ya? 


Suatu hari, dia pernah minta suaminya buat naik mobil aja. Alesannya takut rebutan kursi, “mereka udah kayak zombie, Mbak,” katanya. Kebayang sih, udah di Stasiun Bogor dari jam 5-6an, masih enggak dapet kursi, kan gondok ya. Makannya yang ngincer kursi pasti beneran fokus. Sipa juga pernah dilecehin sih pas penuh di KRL, jadi prefer naik mobil.


Yah alhamdulilahnya karir Sipa n suami makin bagus, mereka bisa afford pp Jakarta - Bogor naik mobil. Lha kalo enggak?


Cerita lain datang dari temen yang beli rumah di deket stasiun krl, mayan jauh sih, pokoknya salah satu stasiun setelah stasiun Depok. Setelah beli rumah dan tinggal di situ, temen dan istri akhirnya enggak kuat dan balik ke rumah mertua di Poltangan. Sekarang mereka masih tinggal di mertua dan mau jual rumah itu.


Sahabat saya juga baru tinggal 3 bulan di pinggiran, memutuskan pindah lagi ke apartemen. Padahal udah kontrak rumah di area itu buat 6 bulan. Dia ngerasa sering marah-marah karena capek dan stress berat. Suaminya juga setuju aja pindah lagi, karena enggak tega lihat sahabat saya senewen.


Masih banyak lagi cerita serupa dan itu datang dari berbagai daerah pinggiran, bodetabek, enggak spesifik 1 daerah aja ya. 


Memang enggak semua kayak gitu. Ada yang pindah ke pinggiran dan mulus-mulus aja. Tapi kami sebisa mungkin menghindari kemungkinan enggak betah itu. 


Lha kalo kami gimana? 

Kami berusaha tetep sama, makannya cari area dimana Popo masih bisa ke kantor naik motor. Kalo nantinya butuh angkutan umum, ada Transjakarta yang bisa langsung deket kantor. Beda sama KRL atau MRT yang lanjut angkot trus lanjut ojek.  Eliminasi pindah-pindah angkutan ini ngefek besar menurut saya. 


Buat yang lagi cari rumah, saran saya: sering lah bolak balik ke area inceran. Makin sering ke sana, makin keliatan hal-hal kecil yang mungkin bikin enggak betah atau justru makin betah. 


Di kasus saya, makin sering ke tempat Sipa, makin kliatan, wah enggak bisa nih beli rumah yang terlalu jauh. Tapi waktu kami ke area inceran kami yang sekarang, kami justru makin excited. Wah ada restoran ini, ada itu, ada sekolah itu. Kayak klik aja gitu. Btw, kami udah muter-muter area ini sejak 3 bulan yang lalu. Padahal ya mayan jauh juga. Belasan kilo dari apartemen kami sekarang.  


Ini masih on-going process, so wish us luck!!!

Tentang Bawa Keluarga ke Belanda dengan beasiswa LPDP

  Udah hampir balik, malah baru update soal berangkat. Hehehehe…. Nasib mamak 2 anak tanpa ART ya gini deh, sok sibuk. But here I am, nulis ...